Selasa, 17 Maret 2009

UASBN di SDS. Borobudur Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Evaluasi Pengajaran, penulis mengadakan observasi mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di sekolah yang dikunjungi. Penulis melakukan observasi di SDS. Borobudur Jakarta. Di sekolah tersebut penulis melakukan wawancara dengan kepala sekolah untuk bertanya mengenai pelaksanaan UN atau untuk SD disebut dengan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN).
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa ujian akhir mutlak diikuti oleh siswa yang akan menamatkan pendidikan pada tiap jenjang pendidikan. Para siswa harus menempuh ujian sekolah yang di dalamnya terdapat ujian praktek untuk mata pelajaran tertentu dan ujian teori, kemudian ujian nasional (UN) bagi SMP/MTs, SMA SMK/MA serta ujian bertaraf nasional (UASBN) bagi SD/MI.
Para peserta didik yang mengikuti UASBN dinyatakan lulus apabila nilai mereka telah memenuhi standar nilai yang telah ditentukan. Namun biasanya, yang menjadi tantangan besar bagi peserta didik dan sekolah adalah bagaimana cara atau upaya yang dilakukan supaya para peserta didik dapat lolos pada UASBN dengan standar kelulusan yang telah ditentukan tersebut. Sehubungan dengan itulah, maka sekolah, para peserta didik dan orangtua perlu menyikapi atau meresponnya dengan berbagai cara dan upaya yang positif agar berhasil nantinya.
Mengingat UASBN merupakan tahapan penting menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka hal tersebut perlu dipersiapkan dengan baik. Oleh karena itu, penulis menangkat masalah ini sebagai bahan pemenuhan tugas akademik mata kuliah Evaluasi Pengajaran yang hasilnya nanti dapat dipelajari bagi pembaca maupun penulis sendiri.
1.2 Identifikasi Masalah
Dengan memperhatikan masalah di atas, penulis mengidentifikasi masalah yang perlu diidentifikasi. Masalah-masalah tersebut antara lain :
a. Mengapa dilaksanakan UASBN di sekolah ?
b. Bagaimana kegiatan UASBN di SDS. Borobudur Jakarta ?
c. Bagaimana pengalaman Ujian Nasional yang pernah dialami penulis ?

1.3 Pembatasan Masalah
Dari masalah yang timbul, penulis membatasi masalah mengenai bagaimana pelaksanaan UASBN di SDS. Borobudur Jakarta.

1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui mengapa perlu diadakan UASBN di sekolah.
2. Mengetahui bagaimana pelaksanaaan kegiatan UASBN di SDS. Borobudur Jakarta.
3. Mengetahui pengalaman-pengalaman yang dialami penulis dalam mengikuti Ujian Nasional .

1.5 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah dengan melakukan observasi di SDS. Borobudur Jakarta dan mewawancarai Kepala Sekolah SD tersebut yang bernama Ibu Purwati S.Pd dan kemudian di sempurnakan lagi dengan mengambil teori-teori dari berbagai sumber yang tentunya berhubungan dengan pembahasan yang saya angkat di laporan ini.

1.6 Sistematika Penulisan
Agar data tersusun secara sistematis maka laporan ini disusun dengan susunan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Pembatasan Masalah
1.4 Tujuan Penulisan
1.5 Metode Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian UASBN
2.2 Profil SDS. Borobudur Jakarta
2.3 Penyelenggaraan UASBN di Mata SDS. Borobudur
Jakarta
2.4 Persiapan Menghadapi UASBN di SDS. Borobudur Jakarta
2.5 Perilaku Siswa SDS. Borobudur Jakarta Dalam
Menghadapi UASBN
2.6 Pelaksanaan UASBN di SDS. Borobudur Jakarta
2.7 Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan UASBN di SDS.
Borobudur
2.8 Peran Guru dan Orangtua Terhadap Siswa di
SDS. Borobudur Jakarta Dalam MenghadapiUASBN
2.9 Pengalaman Mengikuti Ujian Nasional

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional)
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional atau yang sering disingkat UASBN merupakan ujian akhir bagi siswa-siswa sekolah dasar yang wajib diikuti oleh para siswa sekolah dasar kelas VI guna melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dalam UASBN ini siswa harus memperoleh nilai yang standar minimal kelulusannya telah ditetapkan. Dengan begitu siswa akan dinyatakan lulus bila nilai yang diperoleh tidak di bawah standar minimal kelulusan.
UASBN sekolah dasar mengujikan 3 pelajaran utama yaitu Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ketiga pelajaran tersebut merupakan pelajaran utama dimana semua siswa wajib lulus dengan standar yang ditetapkan. Untuk pelajaran lainnya akan diujikan oleh sekolah dan sekolah telah menetapkan standar tersendiri dalam meluluskan siswanya.
Tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan UASBN adalah menilai pencapaian kompetensi secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil UASBN tersebut dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi pemetaan mutu satuan pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dari tahun ketahun pelaksanaan ujian nasional sekolah sering berubah-ubah. Beberapa tahun lalu sebelum sistem UASBN yang ditetapkan, sistem yang digunakan adalah General Test, dimana siswa mengikuti suatu tes yang didalamnya memuat soal-soal mulai dari Bahasa Indonesia, Matematika sampai dengan Pengetahuan Umum. Tes tersebut dilaksanakan hanya dalam 1 hari dan nilai tes itu akan menetukan seorang siswa akan masuk ke sekolah yang dituju atau tidak. Dalam sistem ujian yang seperti ini menurut beberapa orang tidaklah akan membuktikan potensi dan kualitas siswa yang sebenarnya, karena bisa saja siswa yang pintar nilainya akan lebih buruk jika dibandingkan siswa yang lebih bodoh karena pada saat hari H ujian siswa tersebut sakit atau sedang tertekan. Mungkin karena itulah sistem tersebut diubah.
Dengan banyaknya perubahan yang sering terjadi terkadang membuat para pesserta didik dan pendidik sedikit bingung. Namun dengan berjalannya waktu diharapkan semua komponen yang terlibat akan dapat lebih mengoptimalkan potensinya guna mensukseskan pendidikan Indonesia demi terwujudnya pendidikan nasional di masa yang akan datang.

2.2 Profil SDS. Borobudur Jakarta
Sekolah Dasar Swasta (SDS) Borobudur Jakarta adalah sekolah dasar dimana saya dahulu bersekolah. Di sekolah ini saya untuk pertama kalinya belajar membaca, menulis dan berhitung. Sekolah ini terletak di Jalan Raya Cilandak KKO Kelurahan Cilandak Timur Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sekolah ini berstatus sebagai sekolah swasta dan bernaung di bawah sebuah yayasan yang bernama Yayasan Pendidikan Kartini. Sekolah ini berdiri pada tahun 1974 dan didirikan oleh Ibu Nina Achmad yang pada saat itu berlaku sebagai ketua yayasan.
Sekolah ini memiliki total 13 ruangan yang diantaranya dipakai sebagai ruang kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang perpustakaan dan ruang laboratorium komputer. Pada saat saya melakukan observasi, sekolah ini sedang dalam tahap renovasi. Sekolah ini termasuk sekolah yang memiliki prestasi yang lumayan membanggakan karena setiap tahunnya seluruh siswa di sekolah ini selalu lulus dan 90% siswa yang lulus tersebut di terima di SMP Negeri. Oleh karena itu sampai saat ini sekolah ini tetap mendapatkan banyak siswa baru yang tiap tahunnya selalu bertambah jumlahnya.
Selain itu lokasinya yang jauh dari jalan raya membuat proses belajar mengajar tidak terganggu oleh bisingnya lau lintas, oleh karena itu siswa dapat lebih berkonsentrasi lagi dalam menjalankan proses belajar mengajar di kelas.

2.3 Penyelenggaraan UASBN di Mata SDS. Borobudur Jakarta
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) pada sekolah dasar telah di tetapkan 2 tahun belakangan ini. Dari hasil wawancara saya dengan kepala sekolah SDS. Borobudur, beliau berpendapat bahwa penyelenggaraan UASBN adalah hal yang tepat. Hal tersebut dikarenakan supaya sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia memiliki acuan dan motivasi agar mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi dari sebelum-sebelumnya. Dalam pelaksanaan UASBN telah ditetapkan suatu standar minimal kelulusan bagi setiap peserta UASBN. Dengan mengacu pada standar itu maka sekolah akan dapat mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki oleh siswanya agar dapat belajar dengan baik dan benar sehingga semua siswa nantinya lulus dengan nilai yang diatas standar yang telah ditetapkan.
Selain itu dengan diadakannya UASBN, hasilnya nanti akan dapat dijadikan bahan evaluasi bagi sekolah pada umumnya dan bagi guru pada khususnya untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasi yang telah didapat sekolah tersebut. Bagi guru proses evaluasi ini sangat penting karena akan terlihat hasil pengajaran yang dilakukan sampai saat ini ke siswa sudah tepat atau belum, jika belum sang guru dapat memperbaiki dan memilih metode pengajaran yang sesuai dengan potensi para peserta didik. Dengan diselenggarakan UASBN di sekolah dasar ini juga akan membuat sekolah lebih kreatif lagi dalam memberikan pengajaran terhadap para siswanya agar siswa dapat termotivasi dalam proses belajarnya sehingga dapat menghasilkan hasil belajar yang optimal.
Namun menurut beliau terdapat sisi negatifnya pula dalam pelaksanaan UASBN tersebut. Sisi negatif yang dimaksud antara lain, dengan dilaksanakan UASBN ini siswa menjadi terbebani dan stres dalam menghadapi hari-hari sebelum pelaksanaan UASBN tersebut. Terlebih jika standar yang ditetapkan terlalu tinggi sehingga akan sulit bagi siswa dalam mencapai target tersebut. Walaupun dalam 2 tahun penyelenggaraannya standar yang ditetapkan masih tergolong rendah, tetapi nantinya setiap tahun akan dilakukan peningkatan standar minimal kelulusan. Hal tersebut sebenarnya juga menjadi beban bagi guru maupun sekolah karena merekalah yang sedikit banyak akan sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa selain siswa itu sendiri.
Namun dari semua sisi negatif tersebut, sekolah akan tetap berusaha melakukan yang terbaik bagi siswa-siswanya agar dapat lulus dengan hasil yang memuaskan dan mencapai target yang telah ditetapkan.

2.4 Persiapan Menghadapi UASBN di SDS. Borobudur Jakarta
Dalam menghadapi UASBN yang akan diselenggarakan pada pertengahan bulan Mei tahun 2009 ini SDS. Borobudur telah melakukan persiapan yang cukup matang bagi siswa untuk menghadapi hari H ujian. Persiapan yang dilakukan antara lain dengan mengadakan kegiatan tambahan yaitu kegiatan pendalaman materi yang dilakukan setiap harinya sepulang sekolah. Selain itu sekolah yang bekerjasama dengan sekolah-sekolah dasar di lingkungan sekitar mengadakan try out yang soal-soalnya merupakan soal yang di buat dari sekolah-sekolah tersebut. Nantinya soal-soal tersebut akan ditukar satu sama lain secara bergantian. Try out ini dilakukan setiap hari di awal pelajaran. Try out ini telah dilaksanakan sejak bulan Februari sampai beberapa minggu menjelang UASBN tersebut dilaksanakan.
Selain kegiatan yang diadakan oleh sekolah, siswa juga disarankan mengikuti try out yang diadakan oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Hal tersebut akan sangat berguna bagi siswa untuk memperbanyak pengetahuan mereka mengenai soal-soal yang akan diujikan dan melatih mental mereka sebelum menghadapi UASBN yang sebenarnya.
Dalam menghadapi UASBN tahun ini, SDS. Borobudur sangat protect dalam memperhatikan perkembangan siswa-siswanya. Hal ini dilakukan sekolah demi mendapatkan hasil yang terbaik dan memenuhi target sekolah mereka dengan meluluskan siswa-siswanya 100%. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, guru juga berkoordinasi dengan para orang tua murid agar memperhatikan tingkah laku anak selama di rumah dan memantau perkembangan belajar anak-anak mereka dirumah. Hal ini dilakukan agar setiap kegiatan anak di luar sekolah tidak sampai mengganggu konsentrasi mereka menghadapi UASBN yang akan segera datang. Peran orang tua sangatlah penting karena dari mereka pula seorang anak terbentuk menjadi pribadi yang berbeda-beda. Diharapkan orang tua sangat mendukung dan membantu program-program persiapan UASBN yang telah ditetapkan oleh sekolah, dengan begitu sekolah akan dengan tenang melaksanakan UASBN.

2.5 Perilaku Siswa SDS. Borobudur Jakarta dalam Menghadapi UASBN
Menghadapi UASBN yang tinggal menyisakan beberapa bulan lagi membuat sebagian siswa-siswa kelas VI di SDS. Borobudur bertingkah laku tidak seperti biasanya. Walaupun hal tersebut hanya terjadi pada beberapa anak, namun hal itu membuat para guru khususnya wali kelas VI menjadi sedikit khawatir. Menurut pemantauan wali kelas dan kepala sekolah, ada beberapa anak yang agak sedikit stres dan cenderung menjadi tidak bersemangat dan tidak berkonsentrasi ketika kegiatan belajar mengajar di kelas sedang berlangsung. Hal tersebut dianggap wajar oleh para guru setempat karena dalam pemikiran mereka mungkin siswa memang sudah lelah dan bosan menghadapi soal-soal setiap harinya. Selain itu UASBN merupakan hal yang akan menjadi pengalaman pertama bagi mereka dalam menghadapi ujian bertaraf nasional.
Terkadang bahkan ada siswa yang terlalu memforsir porsi belajar mereka di rumah, sekolah maupun bimbingan belajar sehingga sampai jatuh sakit. Menurut kepala sekolah, tahun lalu pernah ada seorang siswa yang terlalu memforsir dirinya untuk belajar dan pada hari H ujian, anak tersebut justru sakit dan tidak dapat mengikuti ujian. Hal itulah yang dikhawatirkan oleh para guru pada persiapan UASBN tahun ini. Mereka berharap peristiwa tersebut tidak terulang kembali. Oleh karena itu guru sebisa mungkin selalu memotivasi para siswanya agar tetap santai dan berusaha yang terbaik dalam menjalankan UASBN nanti.

2.6 Pelaksanaan UASBN di SDS. Borobudur Jakarta
UASBN yang dilaksanakan SDS. Borobudur tahun lalu diikuti oleh 29 siswa kelas VI. Jadwal UASBN tahun ajaran 2007/2008 adalah sebagai berikut:
Jadwal UASBN Tahun Pelajaran 2007/2008 SD, MI, dan SDLB

No Jenis USBN Hari / Tanggal Pukul Mata Pelajaran
1. UASBN Utama Selasa, 13 Mei 2008 08.00 – 10.00 Bhs. Indonesia
UASBN Susulan Rabu, 21 Mei 2008
2. UASBN Utama Rabu, 14 Mei 2008 08.00 – 10.00 Matematika
UASBN Susulan Kamis, 22 Mei 2008
3. UASBN Utama Kamis, 15 Mei 2008 08.00 – 10.00 IPA
UASBN Susulan Jumat, 23 Mei 2008

Pada pelaksanaannya SDS. Borobudur menggunakan 2 ruangan, dimana ruang 1 diisi oleh 15 siswa dan ruang 2 diisi oleh 14 siswa. Setiap ruangan diawasi oleh 2 orang pengawas. Dan pada tahun ajaran 2008 – 2009, SDS. Borobudur juga akan memakai 2 ruangan karena jumlah siswa kelas VI tahun ini berjumlah 31 orang.
Dalam pelaksanaan UASBN tahun lalu tidak ada hambatan-hambatan atau peristiwa berarti yang membuat pelaksanaan UASBN di SDS. Borobudur menjadi tersendat atau terganggu. Semua berjalan dengan lancar dan siswa-siswa pun dapat menyelesaikan semua soal yang diujikan dengan baik.
Menghadapi UASBN tahun ajaran 2008-2009 yang akan dilaksanakan pada tanggal 11-13 Mei 2009, SDS. Borobudur berharap agar pelaksanaannya dapat berjalan lancar seperti tahun sebelumnya atau bahkan lebih baik. Hal tersebut pastinya akan memacu semangat para guru dan murid dalam memberikan hasil yang terbaik dari proses belajar mengajar yang telah mereka laukan selama 6 tahun di sekolah dasar.

2.7 Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan UASBN di SDS. Borobudur
Pelaksanaan UASBN di sekolah dasar swata dengan dekolah dasar negeri tidaklah jauh berbeda. Dalam hal ini yang membedakan dalam pelaksanaan UASBN adalah mengenai pembiayaan dan pembelian soal-soal untuk sekolah dasar swasta. Pembiayaan inilah yang menjadi hambatan pelaksanaan UASBN di sekolah swasta seperti SDS. Borobudur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah SDS. Borobudur, masalah pembiayaan untuk pembelian soal-soal ujian merupakan masalah utama yang setiap tahunnya selalu ditemui. Sebenarnya mereka tidak mau memberatkan orang tua murid untuk memenuhi hal tersebut, namun memang keadaan yang mengharuskan seperti itu. Seperti diketahui bahwa SDS. Borobudur merupakan sekolah dasar swasta yang segala biaya administrasi sekolah ditanggung oleh pihak sendiri (bukan pemerintah). Oleh karena itu dalam hal menyiapkan soal-soal UASBN pun sekolah harus mengeluarkan kebijakan sendiri kepada orang tua murid agar bisa dilunasi sebelum penyelenggaraan UASBN berlangsung.
Dalam hal ini, SDS. Borobudur memiliki kebijakan tersendiri untuk menyelesaikan hambatan yang ada tersebut yaitu dengan cara setiap siswa kelas VI pembayaran SPPnya dinaikkan. Ini dimulai sejak awal tahun ajaran baru dimana siswa baru naik kelas ke kelas VI. Dengan begitu secara tidak langsung orang tua siswa telah sedikit demi sedikit menyicil dan pada akhirnya nanti akan lunas. Tentunya hal ini dilakukan dengan persetujuan orang tua murid setelah rapat dengan komite sekolah. Namun demikian masih ada beberapa orang tua siswa yang keberatan dengan kesepakatan tersebut, mereka masih merasa kurang mampu akan hal itu, oleh karena itu pihak sekolah menanggapi dengan pengadaan subsidi silang bagi orang tua murid yang mampu agar mengeluarkan uang lebih besar untuk menutupi kekurangan dalam pembiayaan soal-soal UASBN tersebut.
Selain pembiayaan, hambatan yang ditemui dalam menghadapi pelaksanaan UASBN antara lain soal kesiapan siswa. Seperti yang telah saya bahas sebelumnya mengenai perilaku siswa yang sedikit berubah menjelang UASBN, ternyata hal tersebut merupakan suatu hambatan yang terkadang ditemui di SDS. Borobudur. Apabila seorang siswa sudah stres atau lelah dalam menghadapi soal-soal, maka guru juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena akan percuma memaksakan mereka untuk terus belajar apabila mereka sudah lelah. Namun, semua hambatan tersebut tidaklah membuat para guru putus asa untuk terus memberikan layanan yang terbaik bagi murid-muridnya.

2.8 Peran Guru dan Orangtua Terhadap Siswa di SDS. Borobudur Jakarta Dalam Menghadapi UASBN
Peran guru dan orang tua merupakan faktor penting yang menjamin seorang siswa akan dapat dengan mudah menjalani ujian di sekolah. Guru sebagai pendidik di sekolah bertugas untuk memberikan pengajaran yang baik di kelas mengenai materi-materi yang akan di ujikan didalam pelaksanaan UASBN. Selain itu guru juga dapat menjadi motivator bagi siswa agar siswa tetap bersemangat dan tidak stres menjalani segala persiapan menjelang UASBN. Hal tersebut telah dilakukan oleh para guru SDS. Borobudur Jakarta. Mereka di kelas selalu berusaha agar memberikan pengajaran dengan seoptimal mungkin. Selain itu mereka juga selalu berusaha terus memotivasi para siswa yang memang butuh semangat baru dan motivasi agar rasa kepercayaan diri mereka menghadapi UASBN tertanam pada diri mereka masing-masing.
Selain guru, orang tua juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Mereka merupakan pendidik di rumah. Seorang anak akan merasa nyaman jika orang tua mereka selalu memantau dan memeperhatikan mereka dengan penuh kasih sayang. Hal tersebutlah yang ditekankan oleh pihak sekolah kepada para orang tua murid SDS. Borobudur. Mereka bekerjasama dan saling membantu satu sama lain untuk memantau dan melihat perkembangan belajar anaknya yang akan menghadapi UASBN. Para guru dan orang tua murid berharap dengan melakukan semua itu maka perilaku siswa di sekolah dan di rumah dapat terkontrol sehingga semua kegiatan di luar sekolah tidak akan mengganggu konsentrasi mereka dalam menghadapi UASBN.

2.9 Pengalaman Mengikuti Ujian Nasional

Pengalaman saya mengikuti Ujian Nasional (UN) pada saat sekolah dulu sangat beragam dan tidak terlupakan, baik di SD, SMP dan SMA. Pertama kali saya mengikuti UN adalah pada saat SD ditahun 2001. Pada saat itu pemerintah memberlakukan sistem EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Persiapan saya menghadapi Ebtanas pada saat itu mungkin lumayan memberatkan saya. Setiap pagi saya harus sudah sampai sekolah pukul 6 pagi untuk melakukan kegiatan pendalaman materi pelajaran yang diujikan. Lalu pulang sekolah selalu diadakan try out mengenai materi yang telah di berikan pada saat pendalaman materi di pagi hari. Hal itu berlangsung selama 2 bulan penuh sebelum hari H. Tetapi semua itu saya lakukan dengan santai dan tanpa beban karena saya yakin saya akan dapat melewati ujian itu dengan baik. Hasil try out dan latihan-latihan saya pun cukup memuaskan, jadi itu merupakan motivasi terbesar saya dalam menghadapi ujian. Namun satu hal yang saya kuatirkan pada saat itu adalah cara pengisian lembar jawaban yang menggunakan komputer. Karena baru pertama kali diterapkan di sekolah, saya belum dapat mengerjakannya dengan baik dan itu yang membuat saya takut jika nantinya hasil jawaban saya tidak terbaca oleh komputer. Pada hari H EBTANAS saya telah mempersiapkan semua alat tulis dengan lengkap. Berhubung saya menempati absen yang pertama jadi saya mendapatkan tempat duduk di barisan paling depan. Hari pertama saya lewati dengan lancar dan saya dapat mengisi semua soal dengan baik walaupun ada beberapa soal yang menyulitkan. Lalu pada hari kedua ketika pelajaran Matematika yang diujikan, di tengah-tengah keseriusan saya mengerjakan soal dan membulatkan jawaban di lembar jawaban komputer, saya baru sadar ternyata lembar jawaban yang saya kerjakan itu sobek pada bagian bawah kertas. Saya kaget dan bingung, karena saya sudah mengerjakan lumayan banyak soal dan membutuhkan waktu yang lama jika saya harus mengganti dan mengulang pekerjaan membulatkan jawaban di kertas. Akhirnya saya hanya diam sampai waktu habis dan kertas jawaban itu saya berikan kepada pengawas untuk dikumpulkan. Saya hanya bisa berdoa semoga kertas jawaban saya itu dapat terbaca oleh komputer dan muncul nilainya. Dan ketika pengumuman kelulusan diberitahukan alhamdulillah saya lulus dan seketika itu juga saya langsung melihat nilai matematika saya yang ternyata memuaskan. Terima kasih ya Allah....pengalaman ini tidak akan saya lupakan sampai kapanpun.
Pengalaman kedua saya mengikuti UN adalah ketika SMP ditahun 2004. UN SMP saya merupakan ujian yang paling berkesan menurut saya. Hal ini karena perjuangan saya untuk bisa mengikuti UN dengan lancar itu sangat sulit. Persiapan saya mengikuti ujian di SMP kira-kira hanya 4 bulan. Setiap harinya ketika pulang sekolah, sekolah mengadakan kegiatan pendalaman materi pelajaran yang diujikan pada saat ujian. Di rumah pun saya privat dengan kakak saya khusus untuk pelajaran matematika karena memang saya sangat tidak menguasai pelajaran itu. Sangat sulit bagi saya pada saat itu membayangkan mampukah saya melewati ujian pada saat itu, tapi untung keluarga dan teman-teman saya selalu mendukung segala usaha saya sehingga saya mendapatkan semangat dan motivasi yang baru dari mereka. Dan 4 bulan berlalu, hari ujian pun datang. Pada hari pertama ujian, kepala sekolah saya mengumpulkan semua peserta ujian di lapangan untuk mengadakan doa bersama dan menyemangati kami agar rileks dan menjawab soal dengan sebaik mungkin. Event ini tidak saya lewatkan, saat itu saya benar-benar berdoa agar Allah memudahkan saya dalam menjawab soal sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik. Sampai di ruang ujian saya berusaha tenang dan santai. Dalam 3 hari mengerjakan ujian alhamdulillah semua lancar dan tidak ada kendala-kendala berarti yang saya temui. Dan pada saat hasil ujian diumumkan alhamdulillah saya lulus dan mendapatkan nilai yang di luar dugaan saya sama sekali karena nilai saya tersebut masuk dalam 20 nilai terbaik di sekolah. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah memberikan saya kemudahan dalam melewati semua itu dan memberikan kepada saya kebahagiaan yang tiada habis-habisnya.
Pengalaman mengikuti ujian, terakhir saya rasakan ketika ujian SMA ditahun 2007. Mengikuti ujian di SMA berbeda rasanya jika dibandingkan mengikuti ujian di SD ataupun di SMP. Ujian Nasional SMA tidak begitu membuat saya panik atau tertekan karena mungkin persiapan yang telah saya lakukan cukup banyak dan sekolah pun sangat membantu saya dalam menghadapi ujian tersebut. Persiapan mengikuti ujian nasional saya mulai dengan mengikuti bimbingan belajar Nurul Fikri (NF) setiap hari Jumat dan Sabtu. Di sana saya mendapatkan latihan soal-soal dan pendalaman materi yang lumayan dapat membantu saya memahami pelajaran-pelajaran yang diujikan. Selain itu disana juga dilaksanakan try out untuk mengerjakan soal-soal agar saya dapat menghadapi kondisi pada saat UN itu seperti apa dan bagaimana. Sekolah saya pun kemudian mengadakan kegiatan pendalaman materi setiap hari Sabtu dan Minggu dan kegiatan try out yang dilaksanakan setiap 2 minggu sekali di hari Jumat. Sebenarnya saya sempat jenuh dan muak juga karena setiap hari selalu bertemu dengan soal-soal dan tidak ada waktu libur untuk beristirahat. Karena itulah beberapa minggu menjelang UN saya jatuh sakit beberapa hari. Untungnya tidak terlalu parah dan kondisi kesehatan saya cepat pulih kembali. Pada hari H ketika ujian dilaksanakan saya berangkat terlalu pagi sehingga sampai di sekolah ternyata masih sepi. Kesempatan ini saya gunakan untuk membaca-baca sedikit materi yang akan diujikan hari itu. 3 hari saya lalui seperti itu dan tak terasa ujian telah selesai. Dalam ujian kali ini tidak ada hambatan atau sesuatu yang menyulitkan saya. Saya juga merasa tidak sia-sia mengorbanan waktu, biaya dan pikiran saya demi lancarnya ujian saya. Ketika pengumuman hasil ujian diberikan saya sangat senang karena siswa di sekolah saya lulus 100%. Saya sudah tidak peduli berapa nilai ujian saya, karena yang saya pikirkan adalah satu ujian telah saya lalui sebelum menuju uijan yang selanjutnya yang akan menentukan masa depan saya yaitu SPMB. Dan saya sangat bersyukur dengan semua itu. Terima kasih Ya Allah untuk semua nikmat yang tiada habisnya Engkau berikan kepadaku.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional atau yang sering disingkat UASBN merupakan ujian akhir bagi siswa-siswa sekolah dasar yang wajib diikuti oleh para siswa sekolah dasar kelas VI guna melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) yang telah dilakukan di sekolah-sekolah dasar selama kurang lebih 2 tahun ini mengakibatkn pro dan kontra. Namun di balik itu semua saya yakin pasti pemerintah selalu berusaha sekuat tenaga demi tercapainya pendidikan yang mengedapankan peningkatan mutu pendidikan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
Dalam kunjungan saya ke SDS. Borobudur Jakarta dan mewawancarai kepala sekolahnya yaitu Ibu Purwanti, dapat saya simpulkan bahwa penyelenggaraan UASBN di sekolah tersebut sudah cukup maksimal. Dimulai dari persiapan yaitu dengan mengadakan try out-try out yang berguna bagi siswa agar siswa dapat lebih mendalami materi pelajaran yang akan diujikan serta melatih mental mereka menghadapi USSBN yang sebenarnya.
Namun seiring berjalannya waktu terkadang siswa merasa jenuh dan stres dengan keseharian mereka menghadapi soal-soal sehingga membuat guru-guru menjadi sedikit khawatir. Tetapi guru-guru disana selalu memberi motivasi terhadap siswa-siswanya agar selalu semangat dan berusaha yang terbaik agar nantinya juga mendapatkan hasil yang terbaik. Disinilah peran guru dan orang tua sebagai pendidik di sekolah dan di rumah. Apabila anak sedang mengalami kebosanan dan stres maka guru dan orang tua dapat menyemangati mereka dan membuat mereka lebih bersemangat lagi untuk menghadapi UASBN.
Dalam pelaksanaan UASBN di sekolah swasta seperti SDS. Borobudur sama saja seperti sekolah lain, hanya saja yang membedakan di sekolah swasta terdapat biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian naskah soal UASBN itu. Dan hal itulah yang menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan UASBN di SDS. Borobudur. Walaupun mereka sudah menetapkan kebijakan dengan menaikkan biaya SPP bagi siswa kelas VI sejak awal tahun ajaran baru ketika mereka naik ke kelas VI, namun terkadang ada beberpa wali murid yang masih keberatan akan hal itu. Dan hal tersebutlah yang akan terus di berikan jalan keluar sehingga permasalahan ini tidak terus menjadi penghambat berjalannya pelaksanaan UASBN.
Target SDS. Borobudur tahun ini dalam pelaksanaan UASBN adalah meluluskan siswa-siswanya 100%. Dan untuk mencapai itu sekolah akan terus berusaha dalam mempersiapkan siswa-siswanya dalam menghadapi UASBN sehingga harapan mereka untuk meluluskan siswanya 100% akan dapat terwujud.

3.2 Saran
Pelaksanaan UASBN di sekolah-sekolah dasar saya rasa sudah cukup tepat. Karena sudah jelas tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan UASBN adalah menilai pencapaian kompetensi secara nasional dan hasil UASBN tersebut dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi pemetaan mutu satuan pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Namun mungkin saran saya, sebaiknya pemerintah secara merata harus memperhatikan kekurangan apa saja yang masih ada dalam pelaksanaan UASBN tersebut. Apakah standar minimal kelulusan itu telah dapat mewakili seluruh potensi siswa di seluruh Indonesia ini atau belum, karena jika tidak, pemerataan kualitas dan mutu pendidikan tidak akan terbagi secara merata dan nantinya itu akan membuat pendidikan di Indonesia akan semakin terpuruk.
Lalu pembiayaan bagi siswa-siswa yang kurang mampu seharusnya ditambahkan, karena melihat dari hasil wawancara saya dengan kepala sekolah SDS. Borobudur masih banyak orang tua murid yang merasa keberatan akan hal itu walaupun memang kembali ke orangtua masing-masing dalam mempertimbangkan anak-anak mereka masuk ke sekolah swasta itu karena apa.
Tapi usaha pemerintah dalam mewujdkan sistem pendidikan yang baik haruslah diberi dukungan selama itu tidak merugikan para peserta didik maupun orang-orang yang terlibat di dunia pendidikan ini. Sebagai warga negara yang baik kita hanya bisa mendoakan agar semua kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah akan dapat membawa pendidikan Indonesia menjadi lebih maju. Amin.


















DAFTAR PUSTAKA

www.bsnp-indonesia.org
http://pontianakpost.com
http://beritasore.com/2008/07/22/279929-warga-sumut-buta-aksara/
http://www.poskupang.com/main/cont.php?content=file_detail&jenis=11&idnya=19426&detailnya=1

Rabu, 11 Maret 2009

Sekolah Sulit Mensosialkan Siswanya

(Suara Pembaruan - 27 Agustus 2003)
oleh : J Drost, SJ (alm)

Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membantu anak menjadi orang dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sosialisasi!

Semua manusia muda, sampai di pelosok pun, telah atau mulai mengalami modernisasi dan menikmatinya. Kata dasar modernisasi adalah kata Latin modus, artinya: cara. Kemudian timbul kata Prancis mode, yaitu cara khusus mengenai berpakaian, berdandan, memangkas rambut, berhias sampai bergagasan. Lantas orang yang mengikuti cara, mode, itu dikatakan modern. Usaha penyesuaian itu disebut modernisasi. Yang kemudian artinya diterapkan kepada setiap ikhtiar guna membedakan diri dari cara yang sudah lewat. Usaha modernisasi ini dapat bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa yang sekarang berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan yang sudah usang demi perbaikan hidup.

Sikap yang mendasari keinginan menyesuaikan diri dengan yang sekarang berlaku sebetulnya bukan modernisasi, melainkan konformisme. Dalam modernisasi sejati ada pendapat pribadi mengenai yang baru itu, sedang dalam konformisme hanya sikap ikut-ikutan saja. Gaya konformisme sangat kuat di antara kaum muda. Mereka baru meraih identitas diri yang masih lemah, maka dibutuhkan pengukuhan atas identitas tersebut. Yang amat diperlukan adalah diterimanya oleh kelompok baya, peer group, yang dianggap paling modern.

Apakah sebetulnya kelompok tersebut modern atau kolot pandangan hidupnya, bukan hal penting. Yang dicari adalah pengukuhan dan penggalangan lewat diterima oleh kelompok baya. Kelompok itu akan menuntut penyesuaian mutlak guna mempertahankan identitas kelompok. Jadi, pengukuhan demi menopang identitas diri yang masih lemah itu diperoleh lewat konformisme. Kalau kelompoknya sungguh-sungguh mendukung modernisasi, ia akan ikut. Namun, bila mereka bernostalgia akan hidup primitif, suatu mode baru, ia pun akan suka hidup primitif.

Berbahaya
Konformisme inilah yang berbahaya, karena mematikan identitas diri. Selama pada masa perkembangan hanya ikut-ikutan saja, orang muda akan menjadi orang dewasa yang tidak dapat bertanggung jawab, tidak berinisiatif, dan pembeo belaka. Kegotongroyongan dan mental pasrah terserah nasib, yang mudah terhanyut dalam arus masyarakat, sangatlah kuat. Orang yang mengungkapkan kepribadiannya yang khas sangat mudah dicap individualis, sombong, ingin menonjol, dan sebagainya.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka pada pakaian seragam, satu bahasa, satu gerak dan sebagainya; penuh dengan orang yang suka ikut-ikutan, dan berkecenderungan latah ikut mode macam-macam tanpa berpikir, apa perlu atau tidak, baik atau tidak. Lebih suka hanyut dalam arus daripada ribut-ribut, walaupun jelas arus itu keliru. Jarang ditemukan orang yang benar-benar berkepribadian, dan yang berani menanggung risiko untuk teguh mampu bersikap lain dari sikap kebanyakan orang yang memang kaprah tersebar luas, tetapi salah. Seolah-olah kita berpendirian "lebih aman hancur bersama-sama orang banyak daripada benar lagi selamat tetapi sendirian".
Yang sekarang amat memprihatinkan adalah bahwa konformisme itu, yang menjadikan mereka orang yang dikolektivisasi, tidak diatasi oleh pendidikan yang mendewasakan, akan tetapi justru terus-menerus diperkuat oleh pendidikan yang ciri khasnya seragam. Sistem pendidikan maupun pembelajaran kita mendukung kolektivisasi, dengan demikian justru mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi penurut.

Proses ini sudah dimulai pada saat manusia lepas dari keadaan yang diciptakan Tuhan, yaitu keluarga. Mulai TK sampai dengan SMU dan SMK, segala-galanya harus seragam. Pakaian, sepatu, peci, rambut, semua uniform ialah bentuk yang sama. Seragam. Di perguruan tinggi tidak ada pakaian seragam. Namun, kurikulum, sistem ujian, matakuliah-matakuliah efektif, praktikum, semua seragam dan sama. Keseragaman berpikir. Kreatif? Mustahil. Menjadi pegawai negeri, pakaian seragam; dan di kantor-kantor terdapat buku pedoman, buku petunjuk pelaksanaan, agar tidak ada ruang berpikir bebas dan hanya boleh mengikuti pikiran yang berkuasa. Terjadi kolektivisasi secara mutlak. Apakah ini orang yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat modern? Jelas bukan!

Pembangun masyarakat modern adalah mereka yang tahu akan dan menerima baik keunggulan maupun kelemahannya. Ia tidak dihinggapi oleh kerendahan hati palsu, karena ia sadar akan dan bangga atas kepribadiannya yang berharga dan penting juga bagi sesama. Ia mempergunakan kemampuannya secara penuh. Ia pantang mundur kendati ada kekurangan padanya. Ia menerima dirinya sendiri maupun orang lain apa adanya. Ia tidak berkelit menghadapi kenyataan, sebaliknya ia berani to face the facts, beradu dada dengan kenyataan. Pendek kata, laki-laki dan perempuan yang kompeten, bertanggung jawab dan penuh perhatian untuk sesama mereka. Mereka adalah pribadi mandiri dan kreatif yang merupakan daya manusia, human resources, untuk modernisasi sejati.

Lagi, yang memprihatinkan adalah bahwa sistem pendidikan dan pembelajaran kita, sistem persekolahan kita, mustahil menjadi sumber daya manusia itu, hanya bisa menjadi sumber anggota kolektivisme yang mustahil berkepribadian dan mustahil kreatif. Bukan karena orang Indonesia. Anak-anak Indonesia amat kreatif dan kadar kemandiriannya sangat tinggi, karena mereka belum masuk sistem kolektivisasi yang disebut sekolah sampai dengan perguruan tinggi.

Kolektivisasi itu adalah musuh utama dari sosialisasi. Sosialisasi adalah usaha menjadikan manusia muda menjadi pribadi dewasa mandiri yang kompeten, bertanggung jawab dan memiliki kepedulian sosial tinggi. Pribadi itu percaya akan diri sendiri, tidak merasa rendah diri, terbuka, dan menerima semua orang lain, walau orang itu berbeda pendapat. Sebaliknya, hasil kolektivisasi adalah orang seperti anggota kawanan, tidak berkepribadian, selalu bertumpu pada orang lain dan pendapatnya.

Sekolah-sekolah kita mustahil mengadakan sosialisasi. Selain sistem persekolahan kita, sikap para pengajar dan pendidik yang masih amat feodal, keadaan sekolah-sekolah kita tidak memungkinkan adanya sosialisasi. Populasi sekolah merupakan kumpulan orang muda dari SD sampai SMU, yang terdiri atas individu-individu yang tidak mempunyai tujuan lain selain mengembangkan intelektualitas masing-masing. Itulah memang hakikat sebuah sekolah. Hubungan antara individu satu dengan individu yang lain terjadi hanya selama beberapa jam di sebuah ruangan yang sama. Tidak ada hubungan sedarah sedaging seperti di keluarga, juga tidak ada hubungan senasib seperti di sebuah asrama. Masuk ruangan itu dari mana-mana dan pergi meninggalkan ruang itu kemana-mana.

Sebuah sekolah bukanlah tempat untuk sosialisasi. Para pelajar hanya tahu nama anak sekelas, yang lain adalah orang asing bagi mereka. Kalau dari satu kelas ada yang sungguh-sungguh menjadi teman, itu bukan karena sekelas akan tetapi karena tetangga sekompleks, seorganisasi, Gereja, Masjid, atau seperkumpulan olahraga. Memaksa sosialisasi dengan mewajibkan mengikuti salah satu ekstrakurikuler adalah salah besar, karena akibatnya justru kebalikannya, yaitu kolektivisasi dan kebencian terhadap ekstrakurikuler. Sosialisasi berasal dari kata Latin socius yang berarti teman, rekan, sahabat. Masakan persahabatan bisa dipaksakan dan diorganisir?

Sebab Lain
Masih ada sebab lain, mengapa sosialisasi tidak mungkin terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia. Kebanyakan orangtua tidak mendidik anak mereka untuk menerima diri sendiri apa adanya. Tidak boleh ada anak yang lebih daripada anak mereka. Akibatnya pelajar kita pasif, tidak berani bertanya di kelas. Itu benar. Sebab kalau seorang pelajar bertanya, seluruh kelas mulai berteriak goblok-goblok-goblok atau carmuk-carmuk-carmuk (cari muka). Tidak boleh ada anak lain yang menonjol. Pelajar-pelajar tidak berani mendapat nilai tinggi, karena langsung dicap sombong, egoistis. Saya alami bahwa lima anak menteri melarikan diri dari SMU-SMU saya karena diteror oleh pelajar-pelajar lain "Kamu diterima karena ayahmu menteri". Mana tahan! Di UI terjadi yang sama.

Itulah pengalaman saya selama 16 tahun di sekolah-sekolah favorit di Jakarta. Anak-anak kita amat iri hati. Tidak dapat menerima bahwa di sekolah ada pelajar yang lebih pandai dari mereka atau orang tua yang lebih tinggi posisinya atau lebih kaya. Tidak ada masalah, selama pelajar tidak mengetahui siapa orangtua pelajar-pelajar lain. Itulah akibat pola pendidikan tertentu yang tidak menjadikan anak menerima diri apa adanya.

Ada anak sulung yang prestasinya di sekolah 6-6,5. Adiknya amat pandai, 9 itu prestasinya. Ibu muncul dan menegur si adik. Jangan menonjol, 7 cukup karena nanti kakakmu tersinggung. Kedua anak ini hancur. Yang sulung merasa didukung bahwa tidak boleh ada anak yang lebih pandai daripada dia. Ia makin iri hati. Adiknya mogok studi. Ada hasil malah dimarahi. Bagaimana cara yang baik mendidik kedua anak itu? Kepada yang sulung harus diberitahu bahwa Bapak dan Ibu puas dengan nilai-nilainya. Tidak perlu lebih, tiap-tiap anak harus berprestasi sesuai dengan kemampuannya. Ia harus bangga bahwa mempunyai adik yang pandai. Kepada si adik: Belajarlah terus, berprestasilah sesuai kepandaianmu. Kami sekeluarga bangga atas nilai-nilaimu. Kamu boleh bangga, tetapi jangan menganggap remeh mereka yang tidak sepandai kamu. Untuk kehidupanmu nanti yang penting tidak hanya menjadi orang pandai. Dua anak ini akan menjadi pribadi dewasa mandiri. Banyak masalah di sekolah ber-asal dari sikap Ibu yang menuntut bahwa semua anaknya harus menjadi pandai, peringkat I, kalau perlu memakai guru-guru les. Kepribadian anak yang diperlukan demikian akan menjadi amat lemah, tidak mempunyai rasa percaya diri. Sosialisasi gagal.

Sekolah pada umumnya dan keadaan sekolah di Indonesia pada khususnya bukan tempat yang baik untuk sosialisasi. Keluarga dan masyarakat itulah tempat orang menjadi manusia yang berkepedulian sosial tinggi.

KIAT MENANGKAL PELANGGARAN KETERTIBAN SEKOLAH

Oleh MOHAMMAD ARIFANA, M.PD

Ketertiban siswa sering kali kita dengar sebagai suatu masalah di sebuah sekolah , apalagi pada jenjang sekolah menengah yang siswa- siswanya beranjak dewasa dan mulai belajar mengenal jati diri pribadinya.dimana siswa sering melakukan pelanggaran di sekolah. Kondisi yang tidak menguntungkan dan cukup memprihatinkan ini, sekolah secara umumnya membentuk Tim Ketertiban Sekolah agar sekolah menjadi lebih baik. Namun sering kali tidak efektif dan mengalami banyak halangan serta hambatan dilapangan. Selain harus mengeluarkan dana tambahan dengan membentuk tim ketertiban, namun sering kali tidak efektif karena tidak didukung oleh guru- guru yang lainnya dan keterbatasan guru serta kepeduliannya kurang terhadap siswa.

Siswa secara psikologis menurut Mulyani (1988) pada umur 12 - 18 tahun dimana perkembangan anak digolongkan sebagai remaja yang mempunyai keinginan baru dan membutuhkan sarana aktivitas yang lebih untuk menumpahkan segala kegiatannya sehingga dengan minimnya sarana dan prasarana mudah membuat siswa akhirnya dapat menimbulkan permasalahannya dari ketertibannya.

Input siswa yang serba kekurangan yang merupakan sisa dari sekolah- sekolah favorit dimana sekolah yang tidak favorit menjadi tempat pelimpahan dari siswa yang perilaku siswanya sering tidak masuk katagori baik akhirnya menjadi masalah ketertiban sekolah semakin meningkat.

Peran orang tua dalam hal kepedulian ketertiban sekolah sangat besar dalam pembentukan psikologis siswa karena waktu yang dipergunakan lebih banyak di rumah dan lingkungannya. Pergaulan serta teman bermain sangat menentukan perkembangan anak. Pengawasan masyarakat dan kontrol umpan balik masyarakat sangat diperlukan mengingat perilaku siswa diluar sekolah melambangkan kualitas penanganan sekolah tersebut..

Apalagi dalam situasi keluarga pasca modern dengan kesibukan kedua orang tuanya sehingga mereka tidak mampu mengawasi anaknya dengan baik. akan membawa dampak terhadap pelanggaran ketertiban di sekolah. Menurut Anita ( 1996) hal ini disebabkan banyaknya suami istri bekerja sama- sama mencari nafkah, angka perceraian tinggi, sejumlah keluarga diasuh satu keluarga saja sehingga anak diasuh oleh pembantu atau lebih tepatnya dibesarkan pembantu.

Sebagai langkah awal dalam upaya untuk menanggulangi upaya ketertiban yaitu

1.Meningkatkan disiplin anak & sedikit demi sedikit mengurangi indisipliner pembelajaran
2.Mewujudkan kinerja sekolah.yang dinamis, mengasyikkan, menyenangkan & mencerdaskan
3.Mengadakan antisipasi dalam mengatasi berbagai hal dalam proses pembelajaran.
Menurut Nursisto (2002) ada beberapa langkah yang dapat digunakan dalam upaya mengatasi ketertiban sekolah dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketertiban yang ada di sekolah.

a. Langkah strategis mencegah siswa yang suka mencoret- coret .

1.Menggalakkan pelaksanaan kegiatan 6 K.
2.Tempat duduk siswa sesuai dengan denah yang telah ditentukan.
3.Sebulan sekali diadakan bersih lingkungan sekolah termasuk didalam kelas.
4.Setiap satu satu semester dilakukan kerja bakti massal sekolah.
5.Dicantumkan sanksi bagi pelaku corat coret didalam tata tertib sekolah.
6.Dalam suatu kesempatan tertentu diberikan tugas oleh guru agar siswa membuat karangan bertemakan corat coret.
7.Satu atau dua menit setiap jam pelajaran berlangsung, guru memeriksa lingkungan didalam kelas.
8.Dilaksanakan lomba kebersihan dan keindahan kelas dalam setiap event kegiatan sekolah.
9.Bila tingkat kesadaran para siswa sudah tumbuh, piket membersihkan ruangan dilakukan siang hari.

b. Langkah mencegah Siswa membawa alat main dan buku porno.

1.Sering dilakukan rasia dengan tiba- tiba. Tim ketertiban secara mendadak masuk dalam semua kelas serentak dan isi tas satu persatu diperiksa dengan teliti.
2.Menyita barang terlarang yang kedapatan di dalam tas atau tersimpan dalam meja siswa
3.Ketika sedang mengajar guru memperhatikan kondisi siswa.
4.Ketika mengajar guru sesekali memberikan pertanyaam kepada siswa.
5.Posisi guru mengajar jangan hanya selalu didepan kelas, kadang kala di belakang kelas.
6.Mencantumkan pelarangan membawa barang yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran.
7.Guru BP diaktifkan peranannya agar jangan melakukan hal- hal terlarang tadi.

c. Langkah mencegah Siswa merokok dan membawa narkoba lebih pelik dibandingkan keduanya, langkahnya sebagai berikut :

1.Dilakukan penggeledahan isi tas siswa.
2.Secara khusus sekolah melakukan pengawasan kepada beberapa siswa yang patut dicurigai.
3.Pihak sekolah melakukan kerja sama dengan pihak- pihak lain di luar sekolah misalnya warga sekitarnya, kepolisian dan pemerintah setempat.
4.Memberikan laporan secepatnya kepada orang tua apabila siswa terjadi tanda- tanda menggunakan rokok dan narkoba.
5. Diadakan ceramah penyuluhan tentang bahaya merokok atau mengkonsumsi narkoba oleh pihak yang berkompetensi.
6.Perlunya dikembangkan budi pekerti yang dikaitkan dengan pelajaran agama.
7.Orang tua mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat pelanggaran merokok dan narkoba sanggup dikeluarkan.

d. Langkah mencegah perkelahian siswa dilingkungan sekolah maupun luar sekolah.

1.Sekolah menyediakan media penyaluran bakat dan minat siswa sehingga mampu menyalurkan energinya yang secara berlebihan lewat kegiatan ekstra kurikuler yang diadakan sekolah.
2.Dibentuknya tim- tim olah raga dan seni di bidang- ekstra kurikuler.
3.Pembuatan program- sekolah dengan memberi peluang untuk siswa agar mampu menuangkan prestasi dan hasil seninya.
4.Perlunya kerjasama dengan pihak pengurus OSIS yang ada di lingkungan sekolah lainnya dalam upaya agar kalau terjadi sesuatu hal maka dapat menjadi penengah.
5.Dilakukan program bersama dan kegiatan terpadu dalam kegiatan pengurus OSIS yang ada dilingkungan sekolah lainnya pada saat momen yang tepat.

e. Langkah mencegah siswa tidak menggunakan seragam dan kelengkapan dengan baik

1.Guru meluangkan waktu sebentar untuk mengingatkan da menegur siswanya disetiap awal pelajaran dimulai terutama jam pertama pelajaran agar selalu menggunakan pakaian secara baik.
2.Adanya kontinuitas dari petugas BP dan Tim ketertiban agar melakukan penertiban seragam yang tidak sesuai ketentuan.
3.Melakukan razia secara mendadak dengan menertibkan siswa yang bajunya tidak sesuai dengan ketentuan.
4.Mencantumkan sanksi bagi siswa yang tidak menggunakan seragam sesuai ketentuan didalam tata tertib sekolah.

f. Langkah dalam membuat tabel point disiplin siswa.

1.Diperlukan komitmen dari guru dan siswa mengenai apa saja yang dapat dijadikan ukuran dalam meningkatkan disiplin sekolah serta disepakati bersama dalam tabel point disiplin siswa.
2.Diperlukan sosialisasi ke siswa dan orang tua berkaitan tabel point kedisplinan siswa di sekolah.
3.Orang tua mengisi surat pernyataan bahwa bila ternyata anaknya terlibat pelanggaran point kedisplinan sekolah dan sanggup dikeluarkan.
4.Diberikan reward penghargaan bagi siswa dan kelas yang point melanggarnya rendah.
5.Adanya kontinuitas dari petugas BP dan Tim ketertiban agar melakukan evaluasi kegiatan berkaitan dengan tabel point kedisplinan siswa.
6.Mengumumkan secara kontinu siswa dan kelas yang mempunyai point kedisplinan yang tertinggi dan terendah.

Didalam upaya ketertiban siswa di sekolah, tidak hanya siswa saja yang dijadikan obyek yang selalu disalahkan namun diperlukan juga manajemen sekolah yang baik agar dalam pelaksanaan ketertiban sekolah dapat berjalan dengan baik.

Langkah- Langkah yang dilakukan sekolah berkaitan dengan ketertiban sekolah.

1. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara baik.
Sering kali pelanggaran ketertiban siswa muncul diawalai pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) yang kurang baik dan sistem inval dari guru piket tidak berjalan secara baik, apabila guru tidak masuk karena sesuatu hal maka sering kali kelas kosong dan tidak ada pengawasan dari guru. Sehingga diperlukan suatu system kerjasama antara pihak- pihak yang ada di sekolah baik guru, siswa , orang tua dan kepala sekolah sebagi manajer disekolah dapat dilakukan secara baik

2. Penuntasan Peserta Didik Bermasalah.
Dengan menangani anak didik yang bermasalah secara tuntas dengan segera maka dapat mencegah timbulnya masalah- masalah yang semakin banyak dan menumpuk sehingga tertanganinya anak didik bermasalah secara baik pula. Disini peran petugas BP dan wali kelas sangat besar dalam upaya membina anak didiknya dikelas

3. Pembinaan Keimanan & Ketaqwaan (Imtaq).
Dalam membangun Imtaq siswa tidak hanya beban dari orang tua saja namun diperlukan kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Perpijak dari hal tersebut baik orang tua, sekolah dan masyarakat melakukan pengawasan dan pengendalian agar mampu membina siswa dengan melakukan kegiatan keagamaan di sekolah dan dimasyarakat bila perlu dikembangkan MPMBI (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Imtaq) di sekolah.(Tirto Adi: 2002)

Hal hal yang perlu dikembangkan dalam upaya meningkatkan ketertiban sekolah terhadap :

a. Siswa .
Dengan mendukung terwujudnya visi, misi sekolah yang aman dan adil. Sebahagian siswa yang acuh tak acuh dilibatkan peranannya dalam kegiatan disekolah. Dan dikembangkan pada siswa semangat dan merasa bangga punya disiplin poin yang rendah

b. Guru.
Guru mendukung dalam menjalankan disiplin yg komprehensif dan diperlukan sosialisasi dalam hal ketertiban sekolah bagi guru yang masih belum memahami esensi yg sebenarnya. Perlu dikembangkan perasaan bangga karena anak didik tunjukkan sikap disiplin yg dikehendaki dan meningkatkan motivasi dalam hal menangani anak bermasalah.dan tidak menjadi beban terhadap diri-sendiri.

c. Orang tua dan Masyarakat
Mendukung sekolah.yang punya disiplin sekolah yang seperti ini. Untuk sebahagian masih ada yang kurang mengerti diperlukan sosialisasi agar mengerti perlunya ketertiban di sekolah. Dikembangkan rasa bangga karena ada perubahan pada sikap anak mereka setelah anaknya dibina di sekolah serta meningkatkan keterlibatannya di sekolah.

Siswa Kita (baca : Indonesia) Siswa Robotis

Siswa Kita (baca : Indonesia) Siswa Robotis

oleh : Musthofa Agus Suwanto
Siswa sekolah kita (baca: Indonesia) mengalami pendangkalan pemahaman keilmuan. Siswa kita ibarat sbuah "buah" dapat dikatakan matang tidak mentah juga tidak. Pada beberapa kasus ternyata siswa kita saat ini secara tak sengaja tercetak sebagai siswa robotis yang hanya siap menjalankan impuls-impuls yang pernah diprogramkan padanya. Siswa kita hanya melakukan alur yang sesuai dengan cetakan yang kita buat. Padahal siswa kita merupakan asset yang tak ternilai harganya, asset dalam pandangan sebongkah otak yang dikaruniakan kepada setiap kepala siswa kita. Otak bukan robot, otak mempunyai kemampuan yang luar biasa jika dibandingkan robot. Otak mampu berkembang sangat menakjubkan apabila empunya otak mau dan mampu mengembangkannya serta didukung oleh perlakuan yang diterima dari sekitar. Perlakuan disini bisa sekolah, sikap/pendidikan yang diberikan oleh orang tua, kegiatan lingkungan, dan perilkau alamiah dasar manusia yang ingin tahu. : Siswa robotis tampaknya akan semakin terus berkembang biak sangat luar biasa apabila pendidikan kita tidak segera membuat perubahan yang mendasar.
Siswa bukan robot karena siswa mempunyai masa depan sendiri. Kita tidak bisa membentuk masa depan mereka apabila memaksakan. Yang kita lakukan adalah hanya mengarahkan kepada kemampuan apa yang dipunyai dan mampu dikembangkan oleh siswa. Pendidikan berorientasi pada potensi seharusnya yang perlu diberikan kepada siswa kita. Bukan pendidikan berorientasi pada value (nilai raport, ijazah, nem), sebab pendidikan yang berorientasi pada value dapat dan mudah diatur apalagi jika melihat kondisi moral sebuah bangsa yang buruk. Pendidikan berorientasi pada value akan bagus dilakukan apabila moral dan etika yang baik telah melekat erat pada sebuah bangsa. Dan sudah menjadi sebuah rahasia umum jika banyak hasil nilai siswa kita yang diatur sedari awal padahal kalau melihat kenyataannya sebenarnya siswa kita belum mampu apa-apa. : Pendidikan berorientasi kepada potensi adalah melihat siswa dari sisi potensinya yang dapat dikembangkan. Pendidikan berorientasi kepada potensi ini tidak harus dilekatkan pada sebuah pendidikan formal, namun juga pada pendidikan orang tua, perilaku lingkungan media (tv, koran, majalah, dll). Kenapa potensi?
Secara tidak sengaja peilaku lingkungan media kita juga bepengaruh sangat luar biasa terhadap perkembangan siswa, hal ini semakin luar biasa setelah ditambah dengan model pendidikan kita. Siswa dengan sangat mudah membelokkan arah hidupnya menuju kepada perilaku lingkungan yang diterimanya. Televisi adalah contoh utama perilaku lingkungan media yang pengaruhnya sangat luar biasa. Dengan sangat mudah diera global saat ini arus informasi macam apa saja mengalir deras menghantam mata, telinga, dan rasa kita. Setiap hari kita dihantam oleh bermacam informasi. Dari hantaman itu secara tidak sengaja pula mengarahkan potensi kita seperti pada perilaku lingkungan media tersebut. Potensi positif yang seharusnya dapat dikembangkan dari seorang siswa akhirnya tenggelam dan hilang yang justru muncul adalah potensi-potensi negatif yang semakin bercabang-cabang.

Bagaimanakah Kegiatan Pembelajaran yang Berfokus pada Peserta Didik?

Oleh: Sudirman Siahaan

Mendengar istilah “Pembelajaran berfokus kepada peserta didik” setidak-tidaknya memuncul-kan pertanyaan, yaitu: “Apakah selama ini kegiatan pembelajaran belum berfokus kepada peserta didik?”. Atau pertanyaan lain yang dirumuskan secara berbeda, yaitu: “Apakah selama ini kegiatan pembelajaran berfokus kepada guru?”. Seandainya jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan ini adalah bahwa kegiatan pembelajaran tidak lagi berfokus pada guru tetapi sudah berfokus kepada peserta didik, maka pertanyaan berikutnya yang muncul adalah “Bagaimanakah konsep kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik itu?”.

Dengan berkembangnya pemikiran tentang pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, apakah para guru juga sudah memahami bahwa kegiatan pembelajaran yang mereka kelola sehari-hari haruslah berfokus kepada peserta didik. Bagaimanakah peranan atau posisi guru selaku manajer kegiatan pembelajaran (instructional manager) dalam kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik?

Pada awalnya, guru memang merupakan salah satu atau dapat dikatakan sebagai satu-satunya komponen penting dalam kegiatan pembelajaran. Dikatakan sebagai satu-satunya komponen penting dalam kegiatan pembelajaran karena apabila disebabkan satu dan lain hal, guru terpaksa tidak dapat hadir di sekolah, maka kegiatan pembelajaran pun dapat dikatakan tidak akan berlangsung. Dengan demikian, guru memang benar-benar berfungsi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik.

Manakala keadaannya sudah sedemikian rupa seperti tersebut di atas, di mana kegiatan pembelajaran sangat tergantung pada kehadiran guru, maka dapatlah dikatakan bahwa model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran yang berfokus kepada guru. Dari RPP yang disusun guru juga dapat dilihat apakah kegiatan pembelajaran yang dikelola guru masih berorientasi pada kepentingan guru atau peserta didik.

Apakah dengan paradigma kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik mengindikasikan bahwa guru telah mengubah posisi keberadaan dirinya di dalam kelas bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik? Tetapi guru telah memposisikan dirinya sebagai salah satu sumber belajar karena guru telah menerapkan kegiatan pembelajaran yang menggunakan berbagai sumber belajar di dalam kegiatan pembelajaannya. Kegiatan pembelajaran yang demikian ini disebut juga sebagai kegiatan pembelajaran berbasis aneka sumber (resources-based learning).

Manakala guru secara konsisten menerapkan kegiatan pembelajaran berbasis aneka sumber, maka guru yang bersangkutan dapat dikatakan telah menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Dalam kaitan ini, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah “Apakah yang menjadi ciri-ciri atau karakteristik dari kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik?”. “Bagaimana pula perbedaannya dengan pembelajaran yang berfokus kepada guru?”.

Dari metode mengajar yang diterapkan guru di dalam kelas, dapatlah diketahui apakah sang guru masih tetap menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada dirinya. Kemudian, menarik juga untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah anda sebagai guru hanya menggunakan metode mengajar chalk and talk” (kapur tulis dan bicara)? Apakah anda juga hanya menuliskan di papan tulis materi pelajaran yang perlu anda sampaikan kepada para peserta didik dan kemudian menceramahkannya?. Apakah anda juga mengkondisikan peserta didik untuk hanya duduk manis dan mencatat apa yang anda tulis di papan tulis dan kemudian mendengarkan ceramah anda secara cermat?. Apakah setelah semua tugas mengajar anda selesai, maka anda langsung meninggalkan ruang kelas dan peserta didik pun terbebas dari anda sebagai guru?

Apabila jawaban kita “YA” terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka hal itu mengindikasikan bahwa kita sebagai guru masih berada pada posisi yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada diri kita sendiri selaku guru. Untuk lebih memantapkan pemahaman kita mengenai pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik atau guru, maka ada baiknya kita merespon serangkaian pertanyaan yang diajukan berikut ini. Tujuannya adalah untuk melatih kita memahami konsep kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik. Oleh karena itu, sejauh mana kita sebagai guru mampu memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memberikan jawaban secara tuntas, maka pemahaman kita akan semakin lebih jelas mengenai kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik.

“Apakah RPP yang kita susun masih menekankan aspek kemampuan atau keberhasilan kita mengajarkan materi pelajaran? Sejauh manakah materi pelajaran yang telah ditetapkan di dalam RPP telah selesai kita ajarkan kepada peserta didik kita? Atau, apakah kita sebagai guru masih menekankan kegiatan pembelajaran pada tingkat pemahaman atau penguasaan peserta didik (kompetensi) terhadap materi pelajaran yang kita rancang?

Pertanyaan selanjutnya adalah “Apakah peserta didik telah berhasil mencapai tingkat kompetensi sebagimana yang ditetapkan di dalam RPP?”. “Apakah kita sebagai guru merasa puas manakala kita telah berhasil menyajikan semua materi pelajaran yang telah direncanakan di dalam RPP?”. Apakah menjadi kepedulian (concern) kita juga sebagai guru mengenai materi pelajaran yang telah kita sajikan itu telah benar-benar dipahami/dikuasai oleh peserta didik kita?.

Terhadap serangkaian pertanyaan tersebut di atas, bagaimana kita sebagai guru menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan sekaligus juga merenungkan apa yang menjadi jawaban kita? Apakah kita mengatakan, “Oh ya, berarti sebenarnya saya belum sepenuhnya menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik” atau sebaliknya, “Nah, barulah sekarang saya tahu bahwa saya sebenarnya sudah mulai menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik”.

Sehubungan dengan respon kita terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dan untuk lebih mengarahkan perhatian kita mengenai model pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, maka pada bagian berikut ini akan diuraikan karakteristik model pembelajaran yang berfokus pada peserta didik versi Molly Jhonson (Jhonson, 2007). Beberapa di antara karakteristiknya adalah bahwa (1) guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran ketimbang sebagai penyaji pengetahuan, (2) pengelolaan kelas yang lebih kondusif terhadap kegiatan dan interaksi peserta didik yang mengarah pada pengalaman belajar yang produktif, (3) peserta didik aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran ketimbang hanya duduk manis dan pasif selama kegiatan belajar berlangsung di dalam kelas, dan (4) membutuhkan investasi waktu dan energi untuk menerapkan model pembelajaran yang berfokus pada peserta didik.

Lebih lanjut, Molly Jhonson mengemukakan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan agar pelaksanaan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik berhasil, yaitu: (1) mengubah paradigma guru menjadi fasilitator pembelajaran, (2) komitmen guru dalam menyediakan waktu dan tenaga untuk membelajarkan peserta didik tentang berbagai materi pengetahuan, (3) kesediaan guru untuk mencoba menerapkan pendekatan baru dalam mengelola kelas, dan melihat secara kritis usaha penerapan pembelajaran yang berfokus pada peserta didik, dan (4) inisiatif guru untuk bergabung dengan kelompok masyarakat pengembang strategi pembelajaran yang berfokus pada peserta didik.

Dengan menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik, maka berikut ini diuraikan beberapa tambahan peranan yang baru bagi guru.

- Peranan baru yang pertama bagi guru yang menerapkan kegiatan pembelajaran yang berfokus kepada peserta didik adalah (1) memahami dan mengetahui secara jelas kearah mana peserta didik secara kognitif dikehendaki akan berkembang. Dalam hal ini, guru hendaknya mengetahui tingkat kemampuan berpikir yang dituntut untuk dikembangkan oleh peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) menggunakan analogi dan metafor, (3) mengembangkan mekanisme yang tidak berbahaya dan juga tidak menakutkan untuk terjadinya dialog tidak langsung antara guru dan peserta didik.

- Peranan guru yang kedua adalah mengembangkan pertanyaan yang bersifat “memaksa” peserta didik untuk menguraikan apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari. Hendaknya guru benar-benar menghindarkan pertanyaan, seperti “Apakah ada pertanyaan?”. Guru hendaknya juga memberikan berbagai kesempatan kepada peserta didik untuk membuat kesimpulan/dan atau menjelaskan materi yang baru saja selesai dibahas. Peserta didik juga haruslah dikondisikan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat penetrasi.

- Peranan ketiga dari guru adalah menggunakan alat/sarana visual untuk membantu peserta didik agar dapat “melihat” bagaimana informasi dapat dihubungkan dan mengajarkan kepada peserta didik cara-cara penggunaan sarana/alat visual.

- Peranan keempat yaitu mendorong pembentukan kelompok-kelompok belajar dan memfungsikannya. Kelompok belajar dapat dibentuk dalam berbagai bentuk tergantung pada besarnya kelas, mata pelajaran, dan pendapat/pemikiran guru.

Kurikulum Kita

Oleh : Mustofa Agus Suwanto

Seorang siswi sebuah sekolah menengah di Surabaya tiba-tiba selama 2 hari lebih tubuhnya terserang panas hebat, kebetulan kondisi keluarganya mulai tidak tentram. Ayahnya meninggalkan karena tertarik wanita lain. Ketika melihat putrinya si Ibu bingung dibawanya ke sebuah klinik namun masih tetap saja kondisi panas tubuhnya tidak juga reda. Si ibu kemudian berinisiatif untuk mengajak bicara putrinya mungkin karena semenjak ditinggal ayahnya dia terlalu memikirkan ayahnya. Namun setelah diajak bicara sianak justru mengajak sama sekali tidak terlalu memikirkan masalah antara ibu dan ayahnya. Si Ibu semakin bingung lalu dicobanya kembali untuk bicara dengan penuh kelembutan, dan barulah terungkap kalau ternyata sang putrinya terlalu memikirkan perkembangan nilainya di sekolah.
Bercermin dari peristiwa diatas dapatlah kita petik sebuah pelajaran bagi kita bahwa jika anak didik kita benar-benar kompeten dalam memikirkan sekolahnya mereka mengalami tekanan yang begitu hebat. Tekanan yang harus dia jalankan karena tugasnya sebagai murid. Belum lagi tekanan yang harus dia terima karena beban materi yang harus dia jalani selama dia sekolah. SMU kita mempunyai beban kurikulum yang sangat padat. Belum lagi kalau sekolah yang harus menjalankan kurikulum tersebut adalah sekolah swasta keagamaan yang secara otomatis akan menambah beberapa butin materi pelajaran kedalam kurikulum yang dijalankan.
Jumlah mata pelajaran di SMU lebih kurang sebanyak 15 mata pelajaran belum termasuk pelajaran yang dipunyai oleh sekolah keagamaan, sedang sistem pelaksanaan pendidikan memakai sistem Cawu atau caturwulan. Dapat kita bayangkan betapa beratnya beban yang harus mereka jalani.
Menurut pengalaman saya (kebetulan sampai saat ini saya bekerja di salah satu SMU Islam di Surabaya) para siswa banyak mengalami keteteran dalam mengejar ketertinggalan mereka yang dimana akhirnya mereka menambalnya dengan mengikuti bimbingan belajar. Beban 15 lebih mata pelajaran harus terselesaikan dalam masing-masing cawu. Setiap cawu guru juga dibebani untuk mengadakan ulangan harian, pemberian tugas, dan Ulangan Umum. Beban ini juga mengurangi ketersampaian materi yang dibebankan dalam satu cawu. Artinya batas cawu telah habis materi/pokok bahasan belum semua tersampaikan. Murid juga akan semakin tertekan karena keterbatasan waktu dan jumlah materi yang mereka terima, jalan satu-satunya mereka mengikuti les tambahan belajar dan ini secara otomatis akan menambah beban biaya pendidikan mereka.
Disamping itu penjurusan yang diberikan di sekolah mengnengah umum sangat membebani siswa. Penjurusan baru dilakukan ketika siswa kelas tiga dengan tiga option pilihan jurusan IPA, IPS, Bahasa. Penjurusan yang baru dilakukan pada kelas tiga ini membuat siswa semakin terbebani belum lagi model penjurusannya dimana IPA harus mempelajari bebang materi yang super berat bagi pandangan siswa yaitu Matematika, Kimia, Biologi dan Fisika. Saya masih ingat ketika saya masih di SMU dulu penjurusan terbagi dalam A1, A2, A3, A4. Dimana A1 itu terfokus kepada Matematika dan Fisika, A2 pada Kimia dan Biologi, A3 pada ekonomi dan Akuntansi sedang A4 terfokus pada Bahasa dan Sastra. Menurut saya penjurusan pada zaman saya tersebut tampaknya lebih bagus apalagi jika penjurusan dilakukan pada kelas-kelas awal. Mungkin saja di lakukan penjurusan pada saat kelas satu Caturwulan ke 3. Hal kemungkinan besar dapat dilakukan apabila sekolah tersebut mau sedikit bersusah payah membangun sistem penjaringan siswa yang mengarah kesana.
Beban kurikulum juga seharusnya dikurangi. Kurikulum seharusnya diarahkan kepada kemampuan dasar siswa sejak dini sehingga sekolah-sekolah menengah tidak mubazir menelurkan generasi-generasi selanjutnya. Kemampuan dasar yang harus mulai dilihat dan dikembangkan sebelum mereka memasuki sekolah lanjutan dan sekolah menengah. Harapan ini tidaklah berlebihan sebab negara kita jarang bahkan belum banyak mencetak ilmuan-ilmuan baru. Negera kita masih mencetak generasi-generasi pekerja yang hanya siap bekerja ikut orang lain bukan siap bekerja untuk masyarakatnya.

Komunikasi dalam manajemen kurikulum

By : Istiara
Kurikulum merupakan unsur vital dalam setiap program pendidikan. Selalu saja guru yang diharapkan untuk mempersiapkan perangkat pembelajaran selama satu tahun. Hal ini merupakan kegiatan rutin bagi guru sehingga banyak yang beranggapan untuk terlalu penting untuk memperbarui kurikulum yang dibuatnya. Dalam lingkungan sekolah yang tidak terlalu besar, komunikasi bisa berjalan mulus dari pembuat kebijakan (kepala sekolah dan bagian kurikulum)kepada guru pengajar atau sebaliknya.
Komunikasi intensif di sekolah kecil bisa dijalankan mulai dari penyusunan program, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi pelaksanaan pembelajarannya. Setiap kendala yang dihadapi guru dalam pengajaran menjadi topik utama bagi guru, bagian kurikulum dan kepala sekolah. Guru tidak hanya mendapat komando di awal yang berupa pemberian jadwal dan kemudian divonis pada akhir tahun pelajaran. Pada saat siswa berhesil guru sekedarnya dipuji. Sedang jika mereka melihat siswa tidak berhasil dalam belajar, guru dicaci. Sukses belajar pada siswa merupakan sukses guru dan sekolahnya. Komunikasi kurikulum selama proses pelaksanaan pembelajaran selalu terkait dengan problem solving. Setiap kendala dalam proses pembelajaran harus cepat ditanggapi oleh pihak kurikulum. Persoalan menjadi rumit dalam manajemen kurikulum di sekolah yang jumlah siswanya sangat besar. Sebagian dari keberhasilan dari sekolah unggul adalah solidnya kontrol terhadap pelaksanaan program kegiatan belajar mengajar selama satu tahun. Kontrol ini memang membuat bagian kurikulum sangat sibuk. Analoginya adalah: Bila di sekolah besar pihak pelaksana kurikulum tidak terlalu sibuk memegang kendali dan kontrol pengajaran di sekolah, pertanda bahwa sukses pembelajaran siswa akan tertunda. Kalau pihak pelaksana kurikulum melihat keganjilan dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung pembelajaran, harus ada pemecahan yang cerdas dan cepat sehingga sukses siswa tidak tertunda. Guru, bagian kurikulum dan kepala sekolah wajib tanggap terutama terhadap pelaksanan program pembelajaran. Tanggapnya unsur sekolah bukan hanya untuk membuat jadwal dan melakasanakan ujian

Penggunaan Modul Pengajaran

Oleh : Dadang Mulyana, dkk

Pengaruh Pengajaran, Bakat Teknik, Dan Kemampuan Berpikir Abstrak Terhadap Prestasi Belajar Teori Dan Praktek Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Kelompok Teknologi Dan Industri.
Oleh Zaenuddin, Abdul Muin Sibuea, Harun Sitompul, Dadang Mulyana
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengajaran dengan modul berdasarkan kompetensi (MBK), bakat teknik dan kemampuan berpikir abstark terhadap prestasi belajar teori dan praktek Pemasangan Dasar Instalasi Listrik (PDIL) pada siswa kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelompok Teknologi dan Industri.
Metode penelitian yang digunakan adalah experimen dengan desain control group posttest only. Kelompok eksperimen merupakan pengajaran dengan MBK dan kelompok kontrol menggunakan pengajaran konvensional. Sampel penelitian adalah siswa kelas 1 SMK Kelompok Teknologi dan Industri Bidang Keahlian Teknik Elektro sebanyak 256 siswa. Teknik analisis data yang digunakan analisis varians, serta analisis pasca anava dengan teknik Tukey.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengajaran modul berdasarkan kompetensi (MBK) memberikan peningkatan prestasi belajar yang berbeda dengan pengajaran konvensional bagi siswa pada mata pelajaran PDIL baik untuk prestasi belajar teori maupun prestasi belajar pratek; 2) perbedaan bakat teknik yang dimiliki siswa, memberikan perbedaan prestasi belajar praktek PDIL yang dicapai siswa, namun tidak terjadi perbedaan prestasi belajar dalam pembelajar teori PDIL; 3) kemampuan berpikir abstrak yang dimiliki siswa memberikan perbedaan prestasi belajar teori PDIL, namun tidak memberikan perbedaan prestasi belajar praktek PDIL; 4) interaksi antara pengajaran, bakat teknik dan kemampuan berpikir abstrak hanya terjadi pada pelajaran teori, namun tidak terjadi pada pengajaran praktek. Hasil rancangan MBK dapat digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa dan guru untuk pengajaran PDIL. Dalam proses pengajaran dengan siswa yang memiliki bakat teknik dan kemampuan berpikir abstrak berbeda guru perlu diperhatikan proses pengajaran, sehingga kemampuan yang dimiliki siswa akan menunjang peningkatkan prestasi belajar.

Perubahan Kurikulum Dapat Menentukan Nasib Baik Hasil Pendidikan

Oleh : TAUFIK

Sampai sekarang pendidikan kita masih compang-camping karena sering terjadi perubahan kurikulum. Setiap pergantian menteri maka pasti terjadi perubahan yang buntutnya malah membuat bingung pelaku pendidikan. Padahal kurikulum seharusnya tidak boleh berubah, ibaratnya pejabat berikutnya tinggal melanjutkan apa yang telah ditinggalkan oleh pendahulunya, tetapi mungkin karena rasa gengsi yang salah kaprah dari beliaunya sehingga agak malu hati jika tidak melakukan perubahan, alias ingin disebut meninggalkan jasa kelak. Sedikit panas dan memerahkan telinga memang ,tapi inilah kenyataan.
Seharusnya sebuah kurikulum dipatenkan selama beberapa lama agar dapat dilihat hasil dari pembelajaran tersebut. Jika kita melihat kenegara lain yang lebih maju, mereka memiliki SDM yang bagus, itu karena siswa mereka tidak dibuat bingung oleh perubahan yang begitu cepat. Kurikulum yang lama belum terserap langsung sudah terganti. Hal lain adalah banyaknya pemborosan biaya pendidikan termasuk untuk mencetak buku-buku yang pada akhirnya tidak terpakai,padahal seharusnya dapat digunakan untuk membiayai bidang-bidang lain dalam sektor pendidikan misalnya kesejahteraan guru, sehingga tidak akan terdengar lagi nada miris tentang nasib guru yang nyambi kerja jadi tukang ojek untuk mempertahankan asap dapur agar tetap ngepul.
Guru yang konsentrasi bekerja, tentunya akan dapat menghasilkan mutu yang bagus disamping tentunya tetap didukung oleh kurikulum yang tetap. Sebab bisa saja terjadi guru yang berada jauh dipedalaman tidak mengetahui lagi adanya perubahan sehingga otomatis tertinggal jauh akibatnya mutu pendidikan jadi timpang. Mungkin saatnya para orang pintar di Indonesia memikirkan mulai sekarang untuk menentukan takaran baku kurikulum ini sehingga kita bisa terangkat dan bukan menjadi pecundang terus. Ingat, kita masih berada di bawah negara Vietnam. Negara yang baru pulih dari luka perang, sedangkan kita katanya sudah lama merdeka tapi masih asyik cuma mengutak atik yang sudah lama seperti anak yang menderita autis, asyik dengan dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang lain yang penting asyik sendiri dan bisa meninggalkan sesuatu....kelak.

Kurikulum yang Tidak Efektif

Oleh : Eka Febrian Sutanto
Sekolah dalam bahasa aslinya, yakni skhole, scola, scolae, atau schola berarti 'waktu luang' atau 'waktu senggang'. Waktu senggang ini digunakan oleh orangtua Yunani untuk menitipkan anaknya kepada orang yang dianggap pintar agar memperoleh pengetahuan dan pendidikan tentang filsafat, alam, dan lain sebagainya. Anak-anak pada jaman itu menganggap sekolah sebagai suatu kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan karena mereka dapat mempelajari berbagai hal yang ingin mereka ketahui.
Kenyataan yang ada sekarang ini sangat bertolak belakang dengan hal di atas. Kebanyakan anak maupun remaja sekarang justru menganggap sekolah sebagai beban. Mengapa hal ini terjadi? Menurut pengalaman saya sebagai pelajar, institusi pendidikan seperti sekolah tidak mengajarkan hal-hal yang saya anggap menarik untuk saya pelajari, melainkan mengajarkan segala pelajaran yang ditentukan oleh kurikulum yang berlaku. Seakan-akan seluruh ajaran yang diajarkan sekolah terkurung oleh sistem kurikulum yang ada saat ini.
Hal ini tentu saja membawa berbagai efek buruk. Anak-anak yang ingin mengejar prestasi harus berusaha keras menguasai beban kurikulum yang didapat, bahkan sampai harus mengikuti berbagai les tambahan. Anak-anak remaja yang pasrah akan keadaan, seringkali berbuat hal yang buruk di luar jam sekolah seperti berkelahi/tawuran. Ini terjadi karena keengganan mereka untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka sukai. Bukan itu saja, dari pengalaman saya, tidak semua pelajaran yang saya dapat di sekolah dasar maupun menengah berguna bagi saya di perguruan tinggi, dan kemungkinan besar tidak semua pelajaran yang saya dapat di perguruan tinggi berguna bagi saya di lapangan pekerjaan. Kurikulum yang sangat tidak efektif, dan sangat banyak membuang waktu dan pikiran mengakibatkan Indonesia kekurangan sumber daya manusia yang handal.
Bagaimana memperbaikinya?
Analogikan seperti ini, seorang guru ekonomi mungkin tidak dapat menjelaskan rumus Newton yang paling sederhana. Begitu pula seorang guru fisika, mungkin tidak mengerti dan hafal apa yang disebut sebagai Hukum Gossen dalam ekonomi. Padahal mereka sama-sama mempelajari hal tersebut ketika masih di sekolah menengah. Jadi jika saya bercita-cita untuk menjadi seorang ilmuwan fisika, haruskah saya mempelajari ekonomi sekolah menengah? Begitu pula sebaliknya, jika saya ingin menjadi ahli ekonomi, saya seharusnya tidak terlalu mendalami fisika.
Sistem pembelajaran saat ini masih menganut 'mempelajari semakin dalam hal yang semakin sempit'. Jadi semakin tinggi pendidikan kita, semakin kecil lingkup yang kita pelajari namun semakin dalam. Dan jika kita ubah sistem itu menjadi mempelajari lingkup yang kecil sejak dini, maka pada saat lulus seorang murid memiliki spesialisasi yang hebat dalam lingkup yang ia pelajari, dengan tidak menyia-nyiakan kemampuannya. Jika sejak dini seorang murid diberikan pelajaran yang cocok dengan bakat dan kemampuannya dan dengan tidak membebankan pelajaran lain yang tidak sesuai dengan kemampuannya, maka sudah pasti murid tersebut akan merasa nyaman dan tidak terbeban.
Mungkin pada awalnya kita harus mencontoh sistem kurikulum yang diadakan di beberapa negara maju. Di beberapa sekolah di negara-negara maju seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat murid-murid sekolah menengah dapat memilih pelajaran yang ingin dia pelajari. Sehingga pada saat lulus dari sekolah menegah tersebut, mereka tidak mengerti hal yang luas tapi dangkal seperti di Indonesia, namun hal yang khusus tapi dalam.
Jika seorang anak memiliki bakat dalam bidang fisika, biarlah ia mendalami fisika. Jika ia memiliki bakat dalam bidang ekonomi, biarlah ia mendalami ekonomi. Jika ia memiliki bakat dalam bidang olahraga, biarlah ia mendalami olahraga. Biarlah bakatnya yang menuntun arah ke mana mereka akan pergi. Jangan kurung dia dan membebani dia dalam kurikulum yang ada sekarang ini...

Pesta Rujak sebagai Strategi Meningkatkan Hasil Evaluasi Belajar Siswa

Oleh : Subarkah

Indikator keberhasilan pembaruan kurikulum ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, dan menentukan strategi belajar yang menentukan hasil evaluasi untuk meningkatkan prestasi. Selama ini guru dalam memberikan evaluasi atau umpan balik selalu memberikan bobot soal yang sama kepada siswa yang memiliki kemampuan berbeda. Tentu hal ini tidak adil. Sebab, karakteristik, kemampuan, dan inteligensi mereka sangat beragam.

Karena itu, penulis merasa bahwa masalah atau fenomena tersebut perlu diatasi dengan tindakan yang bisa meningkatkan prestasi belajar siswa dengan kemampuan yang berbeda. Upaya itu diterapkan melalui implementasi model evaluasi pembelajaran Stimulus 4B dengan sarana pesta rujak.

4B adalah akronim dari ''Beda Buah Beda Bobot''. Model evaluasi pembelajaran ini adalah sebuah model yang menekankan pada proses keterlibatan siswa aktif pada pencapaian hasil evaluasi yang menekankan pada komponen kognitif, psikomotorik, dan afektif. Evaluasinya beragam meliputi tes tertulis, tes performance, hasil karya, produk, dan portofolio melalui stimulus dengan sarana pesta rujak.

4B adalah bentuk sistem evaluasi yang dilakukan guru untuk memberikan stimulus pencapaian hasil evaluasi pembelajaran yang menjadi tujuan guru dari beberapa aspek atau komponen penilaian. Langkah awal dalam melaksanakan stimulus ini adalah membuat profil prestasi siswa kemudian menggolongkannya menjadi beberapa kategori.

Penggolongan tidak dimaksudkan sebagai diskriminasi siswa tetapi lebih difokuskan pada rangsangan untuk mencapai level lebih tinggi atau paling tinggi pada standart kompetensi yang meningkat dengan proses yang berkesinambungan.

Sistem Evaluasi Terhadap Pengajar

Sistem Evaluasi adalah sistem yang menjadi mutlak dalam proses belajar mengajar. Guru mengevaluasi kemampuan siswa adalah hal yang sudah biasa, tetapi siswa yang menilai pengajaran guru barangkali masih langka di negara kita.
Selama menjadi pengajar part time di sebuah lembaga bahasa yang cukup bonafid dengan cabang yang hampir ada di seluruh dunia, saya sudah 3 kali mendapatkan evaluasi. Saya memulai karir di sana dengan kritikan cara mengajar, disiplin waktu, dll yang kadang-kadang membuat saya ingin berhenti saja. Atasan saya kadang-kadang menempatkan saya di ruang bervideo dan mengamati cara mengajar. Tindakan ini semula menyakitkan tapi lama-lama saya bisa menerimanya dengan lapang dada, kritikannya cukup membangun. Siswa biasanya mengisi lembaran evaluasi yang tidak ditunjukkan kepada pengajar. Hasil total evaluasi dalam bentuk persentase hanya disampaikan kepada atasan secara langsung kepada pengajar. Berdasarkan hasil evaluasi yang diberikan oleh siswa dan atasan, maka jumlah jam dan kepercayaan untuk mengampu kelas akan ditentukan.
Saya juga mengajar di sebuah lembaga bahasa kecil dengan manajer yang sudah seperti bapak sendiri. Semula hanya satu siswa yang saya pegang yang kemudian bertambah menjadi dua, dan selanjutnya semakin bertambah. Saya senang mengajar mereka, dan saya lebih-lebih menjadi senang ketika mereka bersemangat dan senang belajar bahasa Indonesia. Banyak yang menjadi murid saya dalam jangka waktu yang lama. Kadang-kadang saya khawatir mereka menjadi bosan, tapi kelihatannya tidak,sebab mereka minta diajar setiap minggu. Penilaian di lembaga ini tidak berlangsung secara resmi, tetapi manajer biasanya menanyakan secara basa-basi kepada siswa dalam obrolan biasa tentang kelas yang diberikan oleh seorang pengajar.Dari situ biasanya manajer secara obrolan biasa juga menyampaikan kepada pengajar hasil penilaian siswa, misalnya : kelas anda menarik, atau karena banyak percakapan, murid-murid sangat senang. Tetapi kadang-kadang pula langsung memuji dan ujung-ujungnya biasanya mempercayakan setiap ada murid baru.
Di semua universitas di Jepang telah diberlakukan sistem evaluasi terhadap dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. Sistem evaluasi ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki pengajaran, tetapi kadang-kadang mahasiswa mengisinya dengan malas atau sangat dipengaruhi oleh senang tidaknya dia dengan pelajaran bersangkutan.
Ada 4 poin utama yang dinilai yaitu :
1. Partisipasi/Kehadiran/Keaktifan siswa dalam kuliah bersangkutan (ada 3 poin yang ditanyakan)
2. Tentang perkuliahan secara umum (ada 4 poin)
3. Tentang pengelolaan kelas, misalnya ketepatan waktu, keseriusan guru menegur siswa yang terlambat atau melakukan kejahilan di kelas, dll (ada 7 poin)
4. Penilaian secara umum (4 poin).
Dan ada kolom khusus untuk memberikan tanggapan bebas kepada dosen pengajar.
Hasil evaluasi seperti ini sangat bermanfaat bagi para pengajar. Saya biasanya memberikan lembaran khusus kepada mahasiswa untuk menulis apa saja tentang kelas yang saya pegang, sebab saya pikir akan lebih mudah mengetahui keinginan siswa dalam bentuk uraian daripada sekedar angka yang berupa persentasi.
Tetapi selain bentuk formal seperti itu, pernyataan langsung mahasiswa misalnya “kuliah Ibu menarik dan membuat saya ingin mengambilnya lagi semester depan” adalah juga bentuk evaluasi yang jujur.

UAN Dalam Perspektif Desentralisasi Pendidikan

Oleh : Ki Gunawan

Ketika UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional tentang sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan terhadap daerah (bahkan sekolah) dalam mengelola pendidikan, timbul secercah harapan akan semakin membaiknya pembangunan pendidikan. Model pembangunan pendidikan yang sangat bersifat sentralistik dan monolitik serta menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah menjadi desentralistik dan pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan kemampuan daerah menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan. Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen sekolah menjadi semakin berperan. Penyusunan kurikulum nasional yang mengabaikan akar budaya dan kebutuhan masyarakat setempat, dengan pemberian kewenangan besar kepada daerah, mestinya tidak akan terulang kembali.

Pemberian kewenangan yang besar kepada para guru melalui manajemen berbasis sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi pun diasumsikan akan mengembalikan harga diri dan rasa percaya diri pada guru yang di masa lalu sangat terpuruk akibat sistem yang bersifat sangat instruktif. Akan tetapi, melihat kebijakan Depdiknas akhir-akhir ini, harapan yang mulai timbul tampaknya akan layu sebelum berkembang. Salah satu contoh yang paling aktual adalah pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang penuh kontroversial. UAN sebagai alat uji bagi siswa kelas terakhir ALTP dan SMU/SMK dalam kenyataannya tidak lain merupakan manifestasi keengganan pusat melepaskan kewenangannya dalam pengelolaan pendidikan. Celakanya, keengganan tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan yang cukup sehingga muncullah kebijakan kontroversial yang sangat membingungkan menyangkut hal-hal seperti soal ujian ulang dan hak siswa tak lulus ujian untuk melanjutkan pendidikan.

Berbeda dengan ujian, evaluasi bermakna penilaian secara terus-menerus, komprehensif, dan berkelanjutan terhadap kemampuan siswa selama belajar di sekolah dan merupakan bagian integral dari proses pembelajaran di sekolah. Dalam kerangka kurikulum berbasis kompetensi, Depdiknas sendiri menggariskan bahwa penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan. Penilaian dilakukan secara komprehensif dan mencakup aspek kompetensi akademik dan keterampilan hidup. Proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan penilaian dilaksanakan oleh para guru dengan penanggung jawab Kepala Sekolah sehingga kinerja seluruh komponen sekolah benar-benar dinilai dan kemampuan guru merancang, memilih alat evaluasi, menyusun soal, dan memberi penilaian benar-benar diuji. Dari sisi siswa, evaluasi jelas akan merupakan sebuah proses yang 'biasa' yang tidak memerlukan persiapan khusus yang menyita seluruh energinya karena evaluasi tersebut dijalankan oleh sekolahnya, gurunya, dan yang terpenting bahan evaluasi adalah apa yang telah diperoleh selama proses pembelajaran. UAN yang menempatkan Pusat sebagai otoritas yang berwewenang secara penuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tindak lanjutnya melalui SPO (Standar Prosedur Operasional) yang sangat rinci dan ketat. Dibandingkan dengan EBTANAS yang masih memperhitungkan nilai yang diperoleh siswa pada semester-semester sebelumnya dalam penentuan nilai kelulusan, model UAN sekarang menempatkan nilai UAN murni sebagai satu-satunya nilai penentu kelulusan siswa. Padahal, semasa EBTANAS diberlakukan, segenap komponen pendidikan seolah diburu untuk mengejar pencapaian nilai EBTANAS murni yang tinggi sehingga semua daya dan dana benar-benar terkuras. Dapat dibayangkan apa yang terjadi sekarang dengan evaluasi model UAN. Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan perihal pemahaman 'lulus' dan 'tamat' yang diberlakukan Depdiknas hanya karena ketidakmampuannya mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi.

Sungguh mengherankan UAN yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan prinsip evaluasi dibebani tujuan dan fungsi yang sangat penting SK 017/U/2003 menyebutkan tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa; mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah; dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, kepada masyarakat. Kemudian, UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional; pendorong peningkatan mutu pendidikan; bahan dalam menentukan kelulusan siswa; dan bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan dan fungsi tersebut tidak berbeda jauh dengan fungsi EBTANAS dulu, tujuan dan fungsi yang tampaknya tidak pernah dievaluasi, bahkan beberapa sebetulnya tak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu tujuan dan fungsi UAN yang berhubungan dengan mutu, misalnya. Sejauh ma na hasil UAN (sebelumnya selama bertahun-tahun hasil EBTANAS) digunakan sebagai pendorong peningkatan mutu. Selama ini hasil EBTANAS sampai dengan UAN dari tahun ke tahun tidak pernah meningkat secara signifikan. Kegunaan hasil UAN sebagai pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pun nyatanya tidak pernah terlaksana. Lulusan SLTP tetap harus mengikuti tes masuk SLTA dan lulusan SLTA pun tetap harus mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi.

Ditinjau dari pemberdayaan guru dan siswa, UAN sama sekali tidak berguna. Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah direbut. Seperti di masa-masa lalu guru tetap tidak dipercaya mampu melakukan tugasnya dengan baik. UAN lalu menjadi semacam pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Dan, seperti juga EBTANAS di masa lalu, seluruh proses pembelajaran dipusatkan kepada upaya untuk sukses dalam UAN sehingga hakikat proses pembelajaran menjadi terabaikan. Mestinya UAN yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan dan menghabiskan dana yang lumayan besar mulai tahun depan dihapus saja. Biarkan sekolah mengevaluasi sendiri hasil kerjanya. Kalau Pemerintah ingin melakukan kontrol terhadap kualitas pendidikan dapat saja setiap tahun terhadap siswa-siswa setiap kelas di semua jenjang pendidikan diberikan semacam tes standar dengan pemilihan sekolah peserta tes diambil dengan cara random sample di tiap daerah yang dianggap dapat mewakili rata-rata nasional. Tes standar semacam ini selain untuk mengetahui kualitas pendidikan juga dapat dijadikan semacam tes diagnostik untuk ditindaklanjuti.

INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN

Oleh : SF. Lussy
Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3 (tiga) hal yang selalu disebut saat kita ingin berbicara tentang proses pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga) hal tersebutlah yang menjadi motor dalam pergerakan sebuah roda pembelajaran.
Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era internetisasi saat ini. Salah satu dampak yang ditimbulkannya pada dunia pendidikan adalah munculnya metode-metode pembelajaran secara elektronik (elearning atau online learning). Hal tersebut akhirnya berimbas pada cara guru dalam menyampaikan atau membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya bertutur atau lisan menjadi tulisan. Namun demikian, peran guru atau pengajar di kelas tidak dapat tergantikan karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara mandiri. Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode klasikal dan elektronik (adanya hybrid instruction).
Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) desain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Tapi menurut Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran, metode, dan penilaian.
Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan peserta pelatihan untuk diklat.
Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses pembelajaran yang harus dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi (khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.
Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini paper and pen bukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio, autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada proses.

EVALUASI PROGRAM PENGAJARAN

Program pengajaran merupakan suatu rencana pengajaran sebagai panduan bagi guru atau pengajar dalam melaksnakan pengajaran. Agar pengajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien, maka perlu kiranya dibuat suatu program pengajaran. Program pengajaran yang dibuat oleh guru tidak selamanya bisa efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik, oleh karena itulah agar program pengajaran yang telah dibuat yang memiliki kelemahan tidak terjadi lagi pada program pengajaran berikutnya, maka perlu diadakan evaluasi program pengajaran.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Apakah yang dimaksud dengan evaluasi program? mengapa evaluasi program perlu dilaksanakan? Apakah yang menjadi objek atau sasaran dari evaluasi? dan Bagaimanakah cara melaksanakan evaluasi program?

Menurut Arikunto (1999: 290) "Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan program". Ada beberapa pengertian tentang program itu sendiri, diantaranya program adalah rencana dan kegiatan yang direncanakan dengan seksama. Jadi dengan demikian melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.

Yang menjadi titik awal dari kegiatan evaluasi program adalah keingintahuan penyusun program untuk melihat apakah tujuan program sudah tercapai atau belum. Jika sudah tercapai bagaimana kualitas pencapaian kegiatan tersebut, jika belum tercapai bagaimanakah dari rencana kegiatan yang telah dibuat yang belum tercapai, apa sebab bagian rencana kegiatan tersebut belum tercapai, adakah factor lain yang mempengaruhi ketidakberhasilan program tersebut.

Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang menjadikan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan sebelumnya.

Sasaran evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan suatu program. Sebagimana yang dikemukakan oleh Ansyar (1989: 134) bahwa ".evaluasi mempunyai satu tujuan utama yatu untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu program" Guru adalah orang yang paling penting statusnya dala kegiatan belajar mengajar, karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan mengemudikan kegiatan kelas. Untuk membuat proses belajar mengajar lebih efektif maka tugas guru adalah menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajara. Untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif tersebut perlu dirancang program pengajaran. Berhasil tidaknya suatu program pengajaran, tentu tidak bisa diketahui begitu saja, tanpa adanya evaluasi program. Oleh karena itu evaluasi program perlu dilaksanakan oleh guru dalam rangka mengetahui seberapa jauh proram pengajaran telah berlangsung atau terlaksana, dan jika terlaksana seberapa baik pelaksanaan program tersebut. Pendek kata, evaluasi program dilaksanakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program pengajaran.

Dalam melakukan evaluasi program, apanya dari program yang dievaluasi?

a. Input
Siswa adalah subjek yang menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa mempunyai bakat intelektual, emosional, social yang berbeda. Oleh karena itu dalam pembuatan program pengajaran hendaknya guru juga perlu memperhatikan aspek-aspek individu tersebut. Secara umum, hal-hal yang ada pada siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar.

b. Materi atau kurikulum
Di Indonesia, kurikulum berlaku secara nasional karena kita menganut system sentralisasi. Meskipun penyusunan dan pengembangan kurikulum sekolah sudah dilakukan secara cermat dan melibatkan banyak pihak, namun tidak mustahil bahwa di lapangan masih juga dijumpai kelemahan dan hambatan. Wilayah Indonesia yang sedemikian luas mengandung keragaman yang tidak sedikit. Itulah sebabnya guru perlu dibekali dengan kemampuan untuk melakukan evaluasi program, termasuk mengevaluasi materi kurikulum. Sasaran yang perlu dievaluasi dari komponen kurikulum ini anatara lain, kejelasan pedoman untuk dipahami, kejelasan materi yang terantum dalam GBPP, urutan penyajian materi, kesesuaian antara sumber yang disarankan dengan materi kurikulum dan sebagainya.

c. Guru
Guru merupakan komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk meciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajaran. Guru adalah manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. oleh karena itu untuk menutupi kelemahan guru perlu dilakukan pembinaan dan penataran dalmrangka melaksanakan pembelajaran

d. Metode atau pendekatan dalam mengajar
Berbeda dengan evaluasi terhadap kurikulum, evaluasi terhadap metode mengajar merupakan kegiatan guru untuk meninjau kembali tentang metode mengajar, pendekatan, atau strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi kurikulum kepada siswa. Metode mengajar adalah cara-cara atau teknik yang digunakan dalam mengajar. Sedangkan strategi pembelajaran menunjuk kepada bagaimana guru mengatur waktu pemenggalan penyajian, pemilihan metoda, pemilihan pendekatan dan sebagainya.

e. Sarana
Komponen lain yang perlu dievaluasi oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar adalah sarana pendidikan, yanga meliputi alat pelajaran dan media pendidikan. Sebelum guru memulai kegiatan mengajar, bahkan sebelum atau sekurang-kurangnya pada waktu menyusun rencana mengajar, guru telah memilih alat yang kira-kira dapat membantu melancarkan dan memperjelas konsep yang diajarkan. Selain guru, mungkin siswa juga dapat dijadikan titik tolak dalam menentukan apakah sarana yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar sudah tepat. Mungkin saja pada waktu menentukan alat pelajaran guru berpikir bahwa pilihannya sudah tepat. Tetapi ternyata di dalam praktek pelaksanaan pengajaran, alat tersebut ternyata kurang atau sama sekali tidak tepat. Proses pengajarannya tidak menjadi semakin lancar, tetapi mungkin bahkan kacau balau. Apabila guru menjumpai dalam mengajar atau ketidak berhasilan siswa dengan nilai rendah-rendah, ia dapat mecoba mengadakan evaluasi terhadap sarana yang digunakan. Sasaran evaluasi yang berkenaan antara lain kelengkapannya, ragam jenisnya, modelnya, kemudahannya untuk digunakan, mudah dan sukarnya diperoleh, kecocokan dengan materi yang diajarkan, jumlah persediaan dibandingkan dengan banyaknya siswa yang memerlukan.

f. Lingkungan
Ada dua macam lingkungan, yaitu lingkungan manusia dan lingkungan bukan manusia. Yang dapat digolongkan sebagai lingkungan masukan lingkungan manusia bukan hanya bukan hanya kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai tata usaha di sekolah itu, tetapi siapa saja yang dengan atau tidak sengaja berpengaruh terhadap tingkat hasil belajar siswa. Sedangkan yang dimaksudkan dengan lingkungan bukan manusia adalah segala hal yang berada di lingkungan siswa yang secara langsung maupun tidak, berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Yang termasuk kategori lingkungan bukan manusia misalnya suasana sekolah, halaman sekolah, keadaan gedung dan sarana lain. Pengaruh lingkungan bukan manusia dapat positif maupun negative. Tatanan perabot kelas yang rapi dapat berpengaruh terhadap kesejukan suasana sehingga siswa dapat belajar dengan tenteram. Sebaliknya suasana yang gaduh di luar kelas dapat mengganggu konsentrasi siswa dan menyebabkan siswa tidak dapat seperti yang diharapkan.

Apabila guru ingin melakukan evaluasi program dengan lebih seksama, terlebih dahulu hendaknya menyusun rencana evaluasi sekaligus menyusun instrument pengumpulan data. Instrument pengumpulandat bisa berupa angket, pedoman wawancara, pedoman pengamatan dan lain sebagainya. Sebagai cara yang paling sederhana adalah menagadakan pendekatan terhadap peristiwa yang dialami sehari-hari di kelas.

Untuk mengevaluasi progam seorang guru tidak perlu dibebani secara sistematis sebagaimana layaknya seorang peneliti. Akan tetapi guru cukup membuat acuan singkat dan sederhana yang disusun dalm bentuk pertanyaan. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guru akan memperoleh umpan terhadap apa yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan objek atau sasaran evaluasi program yang meliputi keenam aspek tersebut di atas.

Pengajaran dan pembelajaran adalah merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang guru. Agar program pengajaran yang telah dilaksanakan itu baik atau tidak perlu dilaksanakan suatu penilaian, yang sering dikenal dengan evaluasi program pengajaran. Evaluasi program pengajaran ini meliputi 1) Input (masukan), 2) materi atau kurikulum, 3) Guru, 4) Metode atau pendekatan dalam mengajar, 5) Sarana: alat pelajaran ata media pendidikan, 6) lingkungan.