oleh : Isjoni
GURU MASA DEPAN Bangsa kita, masyarakat kita, sangat membutuhkan para guru-guru yang mampu mengangkat citra dan marwah pendidikan kita yang terkesan sudah carum marut, dan seperti benang kusut. Sehingga bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, dan dari mana harus dimulai.
Kalaulah kita masing-masing menyadari, dan kalaulah kita masih memiliki rasa keperdulian, dan kalaulah kita mau berbagi rasa, dan kalaulah mau kita berteposeliro, maka pendidikan kita seperti disebutkan di atas, akan dapat dianulir. Oleh sebab itu semua kita memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana kita berusaha mengangkat "batang terendam" tersebut, menjadi pendidikan bermutu, dan tentunya diharapkan mampu untuk mengangkat peringkat dan citra pendidikan termasuk terendah di Asia.
Satu hal yang akan menjadi titik perhatian kita adalah "bagaimana merancang guru masa depan". Guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya.
Bagaimana sebenarnya guru masa depan seperti yang diidamkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah:
1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
2. Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, system dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;
3. Motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;
4. Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;
5. Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan computer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.
Jadi, guru masa depan adalah guru bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing dan punya figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; punya sikap berciri khas "The Habits for Highly Effective People" dan "Quantum Teaching" serta pendekatan humanis terhadap siswa; Guru menguasai komputer, bahasa, dan psikologi mengajar untuk diterapkan di kelas secara proporsional. Diberlakukan skema rewards dan penegakan disiplin yang humanis terhadap guru dan karyawan.
Guru masa depan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin, bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik, memberikan reward ataupun apresiasi terhadap siswa agar mereka bangga akan sekolahnya dan terdidik juga untuk mau menghargai orang lain baik pendapat maupun prestasinya. Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.
Selain itu, guru masa depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru masa depan bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya.
Oleh sebab itu, untuk menjadi guru masa depan diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama. Weternik memberikan dengan istilah rouping atau "pangilan hati nurani" Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai "GURU MASA DEPAN". Semoga.
finally,i have a new blog!!!! thx to : my beloved GOD>Allah SWT my parents>i'm so loving u mom.dad my sister n my brother>thx y buat semangatnya pa amril>tengkyu y pak buat semua ilmunya my friends>isna.amel.lisa n temen2 seperjuangan MP 07 yg kusayangi my inspiration>semoga dia sadar....^^ my hp,my computer busway n semua orang yang udah bantuin seorang anggun yang tadinya gaptek jadi bisa ngelola blog...THX
Senin, 09 Maret 2009
Nasib Guru yang Memilukan
Oleh : Agus Suwignyo
Ribuan guru berunjuk rasa lagi, Kamis (19/7). Mereka antara lain menuntut perbaikan nasib dan kejelasan profesi.
Sehari sebelumnya guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri mengadukan belum adanya surat keputusan pengangkatan sebagai tenaga honorer ke DPRD (Kompas Yogyakarta, 19/7/2007).
Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka. Nasib guru sungguh pilu.
Mengapa pemerintah tak berdaya menyelesaikan masalah kesejahteraan dan kepegawaian guru? Sejauh mana Undang- Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mampu mendorong pemerintah meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan para guru?
Kepastian
Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Pertama, penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup.
Kedua, status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di Yogyakarta, GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Amat sederhana!
Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.
Zaman Belanda
Ketika jumlah sekolah desa meningkat tajam di Jawa (1907) dan Sumatera (1917), para guru pribumi di sekolah desa resmi menuntut status guru bantu. Bersamaan dengan itu, para guru berbangsa Belanda yang penghasilannya nyaris 10 kali lipat penghasilan guru pribumi menuntut kenaikan gaji.
Pemerintah kolonial Belanda menanggapi, meski siang-malam telah menjadi guru di desa-desa, para guru pribumi yang rata-rata tamatan Sekolah Kelas 2 harus lulus kursus guru bantu lebih dulu untuk dapat diangkat. Selain itu, gaji guru tidak dapat dinaikkan karena anggaran tersedot proyek transmigrasi dan perang.
Setelah Indonesia merdeka, masalah guru-guru pribumi tak banyak berubah. Banyak guru SD lulusan Sekolah Guru B-Puteri Ungaran tahun 1950-an yang dijanjikan formasi begitu menyelesaikan pendidikan, misalnya, terkatung-katung sebelum akhirnya diangkat sebagai guru pemerintah. Dengan penghasilan rata-rata Rp 280 per bulan, para guru ikatan dinas itu mengajar di pelosok-pelosok desa sebagai tulang punggung gerakan pemberantasan buta huruf.
Lebih tragis, para guru di institusi yang pada zaman Belanda disebut sekolah liar (wilde scholen), yaitu mereka yang menentang kebijakan pendidikan kolonial dan berjuang demi sistem pendidikan nasional Indonesia, tidak diprioritaskan diangkat sebagai guru negeri oleh Pemerintah Indonesia. Prioritas formasi pegawai pada tahun-tahun pertama setelah proklamasi Indonesia justru para guru yang pada masa Belanda adalah guru Pemerintah Belanda.
Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api.
Pertama, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru.
Kedua, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas.
Ketiga, yang paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.
Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas dan kesungguhan.
Langkah nyata
Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru.
Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.
Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.
Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam, Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru
(Kompas, 20 Juli 2007)
Ribuan guru berunjuk rasa lagi, Kamis (19/7). Mereka antara lain menuntut perbaikan nasib dan kejelasan profesi.
Sehari sebelumnya guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri mengadukan belum adanya surat keputusan pengangkatan sebagai tenaga honorer ke DPRD (Kompas Yogyakarta, 19/7/2007).
Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka. Nasib guru sungguh pilu.
Mengapa pemerintah tak berdaya menyelesaikan masalah kesejahteraan dan kepegawaian guru? Sejauh mana Undang- Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mampu mendorong pemerintah meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan para guru?
Kepastian
Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Pertama, penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup.
Kedua, status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di Yogyakarta, GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Amat sederhana!
Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.
Zaman Belanda
Ketika jumlah sekolah desa meningkat tajam di Jawa (1907) dan Sumatera (1917), para guru pribumi di sekolah desa resmi menuntut status guru bantu. Bersamaan dengan itu, para guru berbangsa Belanda yang penghasilannya nyaris 10 kali lipat penghasilan guru pribumi menuntut kenaikan gaji.
Pemerintah kolonial Belanda menanggapi, meski siang-malam telah menjadi guru di desa-desa, para guru pribumi yang rata-rata tamatan Sekolah Kelas 2 harus lulus kursus guru bantu lebih dulu untuk dapat diangkat. Selain itu, gaji guru tidak dapat dinaikkan karena anggaran tersedot proyek transmigrasi dan perang.
Setelah Indonesia merdeka, masalah guru-guru pribumi tak banyak berubah. Banyak guru SD lulusan Sekolah Guru B-Puteri Ungaran tahun 1950-an yang dijanjikan formasi begitu menyelesaikan pendidikan, misalnya, terkatung-katung sebelum akhirnya diangkat sebagai guru pemerintah. Dengan penghasilan rata-rata Rp 280 per bulan, para guru ikatan dinas itu mengajar di pelosok-pelosok desa sebagai tulang punggung gerakan pemberantasan buta huruf.
Lebih tragis, para guru di institusi yang pada zaman Belanda disebut sekolah liar (wilde scholen), yaitu mereka yang menentang kebijakan pendidikan kolonial dan berjuang demi sistem pendidikan nasional Indonesia, tidak diprioritaskan diangkat sebagai guru negeri oleh Pemerintah Indonesia. Prioritas formasi pegawai pada tahun-tahun pertama setelah proklamasi Indonesia justru para guru yang pada masa Belanda adalah guru Pemerintah Belanda.
Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api.
Pertama, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru.
Kedua, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas.
Ketiga, yang paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.
Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas dan kesungguhan.
Langkah nyata
Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru.
Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.
Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.
Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam, Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru
(Kompas, 20 Juli 2007)
Subsidi Setengah Hati dan Rawan Salah Alamat
Sumber : Kompas, 26 Februari 2005
Oleh : NASRULLAH NARA
"ORANG miskin dilarang sekolah. Orang miskin dilarang sakit...!" ungkapan bernada sarkasme itu mencuat dalam sebuah diskusi bertema "Pendidikan Gratis bagi Semua Orang" di kantor Lembaga Penelitian Pengembangan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta, Selasa (22/2).
ITU merupakan refleksi keprihatinan atas sulitnya mewujudkan hak-hak dasar bagi semua warga negara. Hak dasar yang dimaksud adalah kesempatan memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan secara layak. Padahal, kedua hal itu teramanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen IV). Bahkan, hak mendapatkan pendidikan dasar gratis sembilan tahun (sekolah dasar-sekolah lanjutan tingkat pertama) juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Sindiran untuk melarang orang miskin sekolah berangkat dari fakta bahwa biaya pendidikan terus melangit. Sekolah negeri yang semula dibangun untuk memberikan layanan pendidikan bagi masyarakat luas justru ikut-ikutan mematok uang pangkal dan berbagai jenis pungutan seperti halnya sekolah swasta. Dengan demikian, tidak semua anak usia sekolah mampu mengaksesnya, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Adapun sindiran untuk melarang orang miskin sakit berangkat dari kenyataan bahwa jaminan layanan kesehatan gratis sulit dinikmati oleh kaum miskin. Guna mendapatkan layanan kesehatan, kaum papa harus terlebih dulu menempuh prosedur bertele-tele. Paling tidak, harus ada surat keterangan miskin dari tingkat RT RW hingga kelurahan yang pengurusannya butuh waktu 1-2 hari. Sudah begitu, belum ada jaminan bahwa di rumah sakit kelas III sekali pun tidak ada pungutan.
Bayangkan, bagaimana risikonya kalau penyakit yang diderita sejenis demam berdarah atau kolera yang butuh penanganan secepat mungkin. Intinya, nasib orang miskin yang jatuh sakit ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Selain merepotkan dirinya, juga "dianggap" merepotkan orang lain. Jadi, jangan sampai sakitlah…!
SINDIRAN-sindiran dalam diskusi tersebut muncul karena dipicu oleh gagasan subsidi silang, terutama berkait dengan kompensasi pengalihan dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tengah dirancang menjelang kenaikan harga BBM tahun 2005 ini.
Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal, salah satu pembicara dalam diskusi tersebut, mengemukakan, subsidi silang merupakan solusi terbaik dalam memeratakan kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di Tanah Air.
Alasannya, anggaran negara masih belum cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar bagi semua warga negara meski sektor pendidikan sudah mengambil porsi terbesar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perhitungannya, di seluruh Indonesia terdapat sekitar 38,5 juta anak usia SD (6-12 tahun) dan usia SMP (13-15 tahun).
Mereka terdiri dari 25,6 juta anak usia SD (6-12 tahun) dan 12,8 juta anak usia SMP (13-15 tahun).
Mengacu pada data Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, untuk menanggung anggaran pendidikan dasar sembilan tahun (SD-SMP) anak-anak itu dibutuhkan dana paling kurang Rp 80 triliun.
Padahal, dalam tahun 2005 ini, misalnya, rencana alokasi sektor pendidikan dari APBN hanya sekitar Rp 25 triliun, atau sekitar 8-9 persen dari total APBN. Jika APBN yang totalnya sekitar Rp 300 triliun mau dialokasikan ke sektor pendidikan sebesar 20 persen-sesuai amanat konstitusi dan UU Sisdiknas-maka sektor lain tentu harus mengalah.
"Repotnya, persoalan seperti ini jarang dibicarakan dengan jajaran Departemen Keuangan selaku pihak yang lebih terkait dalam pengalokasian anggaran," kata Fasli seraya menegaskan bahwa tidak ada cara lain kecuali menerapkan pola subsidi silang. Dalam hal ini, orang kaya menyisihkan sebagian dananya untuk menopang pendidikan kaum miskin.
Menanggapi hal itu, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya mengatakan, mestinya pemerintah tidak bergantung pada subsidi silang. Sebagai penyelenggara urusan negara, pemerintah harus punya tekad atau upaya gigih untuk menjalankan tuntutan konstitusi dan UU. Jika pendidikan disepakati sebagai jembatan memperbaiki harkat dan martabat manusia, pemerintah harus menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas.
Kalau keterbatasan anggaran negara selalu dikedepankan, kata Utomo, maka tujuh turunan anak-anak nelayan di Muara Angke dan orang-orang yang tidak punya penghasilan tetap lainnya bakal terus bergelimang kemiskinan. Bagi mereka, sekolah adalah sesuatu yang sangat mahal.
"Peluang mereka untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal hampir tidak ada," paparnya.
Dipikir-pikir, era ke depannya bukan hanya anak-anak nelayan, anak-anak buruh pabrik dan kalangan terpinggirkan itulah yang sulit memperbaiki status sosialnya. Bisa jadi, potensi mewariskan kemiskinan tujuh turunan makin lebar. Sebab, jumlah penduduk yang tidak sempat mendapatkan pelayanan pendidikan dasar bakal terus meningkat. Saat ini saja masih ada sekitar lima juta anak yang belum terserap SD-SMP.
ADA angin segar ketika Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Dedi Masykur Riyadi menyebutkan bahwa jumlah dana kompensasi BBM tahun ini akan meningkat 2-3 kali lipat dari jumlah tahun lalu.
Siswa SD dari keluarga tidak mampu bakal menerima Rp 20.000 per bulan atau Rp 240.000 setahun, naik dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Siswa SLTP bakal menerima Rp 50.000 per bulan atau Rp 600.000 setahun (tahun lalu sebesar Rp 240.000 setahun).
Adapun siswa SLTA akan menerima Rp 100.000 per bulan atau Rp 1,2 juta setahun (naik empat kali lipat dibanding tahun lalu yang sebesar Rp 300.000).
Menjelang kenaikan harga BBM, hingga saat ini, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional masih terus melakukan kajian untuk mengoptimalkan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM 2005 yang totalnya sekitar Rp 17 triliun. Menurut Dedi Masykur Riyadi, peningkatan jumlah subsidi disesuaikan dengan satuan pembiayaan (unit cost) per jenjang studi berdasarkan data dari hasil Sensus Sosial Ekonomi Nasional.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengklaim, subsidi yang diberikan kepada siswa miskin tersebut diklaim sebagai beasiswa.
Dicermati lebih jauh, sebetulnya masalah utama bukan pada dinaikkannya jumlah subsidi silang atau tersedianya beasiswa kepada anak-anak miskin. Sebab, bagaimanapun, subsidi silang hanyalah siasat mengalihkan tanggung jawab negara kepada warganya dengan cara mengharapkan penyediaan dana dari kalangan orang kaya ke orang miskin.
Yang utama adalah bagaimana pemerintah membuat mekanisme pembiayaan pendidikan yang baku tanpa berharap dari skenario kenaikan harga BBM. Apalagi, dana subsidi yang dijanjikan hanyalah sekadar untuk menutupi biayai sekolah per siswa dalam hitungan bulan yang berjalan. Maksudnya, hanya bisa menutupi sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) dan pungutan lain sejenis ujian.
Sementara pungutan uang pangkal, uang bangku, dan pakaian seragam yang sering kali menjadi "penghadang utama" siswa saat tahun ajaran baru tidak ikut diperhitungkan. Buktinya, dana kompensasi BBM yang dijanjikan itu baru akan mengucur setelah harga BBM dinaikkan bulan Maret nanti. Padahal, sekitar sembilan juta siswa SD-SLTA miskin yang disasar oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah telanjur mengeluarkan berbagai jenis ongkos di awal tahun ajaran baru.
Belum lagi, sejumlah persoalan sangat potensial muncul dalam penyaluran dana subsidi tersebut. Pengalaman menunjukkan, sejak dana kompensasi BBM digulirkan tahun 2002, tidak sedikit warga miskin yang tidak menerima dana tersebut.
Penyebabnya, terutama karena mereka tidak didata oleh aparat kelurahan. Kalaupun terdata, tidak ada jaminan bahwa mereka bakal menerima. Contohnya, tahun 2004 di SMA Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) Tebet, Jakarta Selatan, dilaporkan, jumlah siswa miskin mencapai lebih 30 dari orang. Yang menerima tidak sampai 15.
Artinya, tidak usah jauh-jauh menelisik daerah pelosok pedesaan dan wilayah kepulauan. Dalam wilayah ibu kota negara saja, potensi salah alamat subsidi bisa terbuka lebar.
Selain salah alamat, potensi penyalahgunaan manfaat subsidi juga terbuka lebar. Mengingat sasaran yang dituju adalah keluarga miskin, bukan tak mungkin dana untuk pembiayaan sekolah dibelanjakan untuk membeli beras.
Ditujukan langsung ke sekolah, juga tidak memberikan jaminan keamanan. Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah menerima laporan bahwa sebuah sekolah fiktif di Jawa Barat tahun lalu mengajukan nama-nama siswa penerima dana kompensasi subsidi BBM. Jadi, jangankan obyek siswanya, lembaga sekolah saja rawan dimanipulasi.
Sejauh ini, Depdiknas masih berpegang pada mekanisme yang sudah berjalan tiga tahun terakhir, yakni dana disalurkan langsung melalui rekening siswa. Penyalurannya menggunakan jasa PT Pos Indonesia maupun perbankan.
DARIPADA berharap dari skenario kenaikan harga BBM yang sarat pro-kontra itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas mengajukan solusi pembiayaan pendidikan berupa penerapan pajak progresif, seperti di negara-negara yang menganut welfare state. Dalam hal ini, negara memungut pajak setinggi-tingginya kepada orang kaya, lalu hasil pajak dikembalikan ke warga negara dalam wujud pelayanan publik.
Sektor pendidikan tentu saja harus ikut menjadi bagian dari pelayanan publik. Anak orang kaya dan miskin bersekolah gratis dalam lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah.
Dalam sektor kesehatan, mungkin bisa diterapkan asuransi kesehatan pada rumah sakit tingkatan generik bagi semua warga negara dengan prosedur yang sederhana.
Hanya saja, gagasan itu tentu tidak mudah diwujudkan jika negara ini yang masih sarat "kongkalikong" antara aparat kantor pajak dan obyek pajak. Sama tidak mudahnya jika aparat pemerintah belum menempatkan dirinya sebagai penyelenggara layanan publik alias lebih memosisikan dirinya sebagai orang yang dilayani.
Jadi, seperti apa pun model pembiayaan layanan publik yang dirancang, terutama sektor pendidikan dan kesehatan, tetap saja rawan penyimpangan jika tidak diawali dengan keteguhan komitmen pada semua pihak yang terkait.
Selama komitmen pelayanan itu tidak dikedepankan, lama- lama sindiran di awal tulisan sudah menjadi hal biasa, bukan lagi hal yang mengundang perenungan. Sungguh ironis jika orang miskin dilarang sekolah dan dilarang sakit. Artinya, di negeri ini tak ada tempat buat orang miskin, sementara negara tidak membuka ruang yang lebar bagi warganya untuk memperbaiki harkat hidup lewat pendidikan.
Oleh : NASRULLAH NARA
"ORANG miskin dilarang sekolah. Orang miskin dilarang sakit...!" ungkapan bernada sarkasme itu mencuat dalam sebuah diskusi bertema "Pendidikan Gratis bagi Semua Orang" di kantor Lembaga Penelitian Pengembangan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta, Selasa (22/2).
ITU merupakan refleksi keprihatinan atas sulitnya mewujudkan hak-hak dasar bagi semua warga negara. Hak dasar yang dimaksud adalah kesempatan memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan secara layak. Padahal, kedua hal itu teramanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen IV). Bahkan, hak mendapatkan pendidikan dasar gratis sembilan tahun (sekolah dasar-sekolah lanjutan tingkat pertama) juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Sindiran untuk melarang orang miskin sekolah berangkat dari fakta bahwa biaya pendidikan terus melangit. Sekolah negeri yang semula dibangun untuk memberikan layanan pendidikan bagi masyarakat luas justru ikut-ikutan mematok uang pangkal dan berbagai jenis pungutan seperti halnya sekolah swasta. Dengan demikian, tidak semua anak usia sekolah mampu mengaksesnya, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Adapun sindiran untuk melarang orang miskin sakit berangkat dari kenyataan bahwa jaminan layanan kesehatan gratis sulit dinikmati oleh kaum miskin. Guna mendapatkan layanan kesehatan, kaum papa harus terlebih dulu menempuh prosedur bertele-tele. Paling tidak, harus ada surat keterangan miskin dari tingkat RT RW hingga kelurahan yang pengurusannya butuh waktu 1-2 hari. Sudah begitu, belum ada jaminan bahwa di rumah sakit kelas III sekali pun tidak ada pungutan.
Bayangkan, bagaimana risikonya kalau penyakit yang diderita sejenis demam berdarah atau kolera yang butuh penanganan secepat mungkin. Intinya, nasib orang miskin yang jatuh sakit ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Selain merepotkan dirinya, juga "dianggap" merepotkan orang lain. Jadi, jangan sampai sakitlah…!
SINDIRAN-sindiran dalam diskusi tersebut muncul karena dipicu oleh gagasan subsidi silang, terutama berkait dengan kompensasi pengalihan dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tengah dirancang menjelang kenaikan harga BBM tahun 2005 ini.
Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal, salah satu pembicara dalam diskusi tersebut, mengemukakan, subsidi silang merupakan solusi terbaik dalam memeratakan kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di Tanah Air.
Alasannya, anggaran negara masih belum cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar bagi semua warga negara meski sektor pendidikan sudah mengambil porsi terbesar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perhitungannya, di seluruh Indonesia terdapat sekitar 38,5 juta anak usia SD (6-12 tahun) dan usia SMP (13-15 tahun).
Mereka terdiri dari 25,6 juta anak usia SD (6-12 tahun) dan 12,8 juta anak usia SMP (13-15 tahun).
Mengacu pada data Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, untuk menanggung anggaran pendidikan dasar sembilan tahun (SD-SMP) anak-anak itu dibutuhkan dana paling kurang Rp 80 triliun.
Padahal, dalam tahun 2005 ini, misalnya, rencana alokasi sektor pendidikan dari APBN hanya sekitar Rp 25 triliun, atau sekitar 8-9 persen dari total APBN. Jika APBN yang totalnya sekitar Rp 300 triliun mau dialokasikan ke sektor pendidikan sebesar 20 persen-sesuai amanat konstitusi dan UU Sisdiknas-maka sektor lain tentu harus mengalah.
"Repotnya, persoalan seperti ini jarang dibicarakan dengan jajaran Departemen Keuangan selaku pihak yang lebih terkait dalam pengalokasian anggaran," kata Fasli seraya menegaskan bahwa tidak ada cara lain kecuali menerapkan pola subsidi silang. Dalam hal ini, orang kaya menyisihkan sebagian dananya untuk menopang pendidikan kaum miskin.
Menanggapi hal itu, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya mengatakan, mestinya pemerintah tidak bergantung pada subsidi silang. Sebagai penyelenggara urusan negara, pemerintah harus punya tekad atau upaya gigih untuk menjalankan tuntutan konstitusi dan UU. Jika pendidikan disepakati sebagai jembatan memperbaiki harkat dan martabat manusia, pemerintah harus menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas.
Kalau keterbatasan anggaran negara selalu dikedepankan, kata Utomo, maka tujuh turunan anak-anak nelayan di Muara Angke dan orang-orang yang tidak punya penghasilan tetap lainnya bakal terus bergelimang kemiskinan. Bagi mereka, sekolah adalah sesuatu yang sangat mahal.
"Peluang mereka untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal hampir tidak ada," paparnya.
Dipikir-pikir, era ke depannya bukan hanya anak-anak nelayan, anak-anak buruh pabrik dan kalangan terpinggirkan itulah yang sulit memperbaiki status sosialnya. Bisa jadi, potensi mewariskan kemiskinan tujuh turunan makin lebar. Sebab, jumlah penduduk yang tidak sempat mendapatkan pelayanan pendidikan dasar bakal terus meningkat. Saat ini saja masih ada sekitar lima juta anak yang belum terserap SD-SMP.
ADA angin segar ketika Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Dedi Masykur Riyadi menyebutkan bahwa jumlah dana kompensasi BBM tahun ini akan meningkat 2-3 kali lipat dari jumlah tahun lalu.
Siswa SD dari keluarga tidak mampu bakal menerima Rp 20.000 per bulan atau Rp 240.000 setahun, naik dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Siswa SLTP bakal menerima Rp 50.000 per bulan atau Rp 600.000 setahun (tahun lalu sebesar Rp 240.000 setahun).
Adapun siswa SLTA akan menerima Rp 100.000 per bulan atau Rp 1,2 juta setahun (naik empat kali lipat dibanding tahun lalu yang sebesar Rp 300.000).
Menjelang kenaikan harga BBM, hingga saat ini, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional masih terus melakukan kajian untuk mengoptimalkan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM 2005 yang totalnya sekitar Rp 17 triliun. Menurut Dedi Masykur Riyadi, peningkatan jumlah subsidi disesuaikan dengan satuan pembiayaan (unit cost) per jenjang studi berdasarkan data dari hasil Sensus Sosial Ekonomi Nasional.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengklaim, subsidi yang diberikan kepada siswa miskin tersebut diklaim sebagai beasiswa.
Dicermati lebih jauh, sebetulnya masalah utama bukan pada dinaikkannya jumlah subsidi silang atau tersedianya beasiswa kepada anak-anak miskin. Sebab, bagaimanapun, subsidi silang hanyalah siasat mengalihkan tanggung jawab negara kepada warganya dengan cara mengharapkan penyediaan dana dari kalangan orang kaya ke orang miskin.
Yang utama adalah bagaimana pemerintah membuat mekanisme pembiayaan pendidikan yang baku tanpa berharap dari skenario kenaikan harga BBM. Apalagi, dana subsidi yang dijanjikan hanyalah sekadar untuk menutupi biayai sekolah per siswa dalam hitungan bulan yang berjalan. Maksudnya, hanya bisa menutupi sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) dan pungutan lain sejenis ujian.
Sementara pungutan uang pangkal, uang bangku, dan pakaian seragam yang sering kali menjadi "penghadang utama" siswa saat tahun ajaran baru tidak ikut diperhitungkan. Buktinya, dana kompensasi BBM yang dijanjikan itu baru akan mengucur setelah harga BBM dinaikkan bulan Maret nanti. Padahal, sekitar sembilan juta siswa SD-SLTA miskin yang disasar oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah telanjur mengeluarkan berbagai jenis ongkos di awal tahun ajaran baru.
Belum lagi, sejumlah persoalan sangat potensial muncul dalam penyaluran dana subsidi tersebut. Pengalaman menunjukkan, sejak dana kompensasi BBM digulirkan tahun 2002, tidak sedikit warga miskin yang tidak menerima dana tersebut.
Penyebabnya, terutama karena mereka tidak didata oleh aparat kelurahan. Kalaupun terdata, tidak ada jaminan bahwa mereka bakal menerima. Contohnya, tahun 2004 di SMA Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) Tebet, Jakarta Selatan, dilaporkan, jumlah siswa miskin mencapai lebih 30 dari orang. Yang menerima tidak sampai 15.
Artinya, tidak usah jauh-jauh menelisik daerah pelosok pedesaan dan wilayah kepulauan. Dalam wilayah ibu kota negara saja, potensi salah alamat subsidi bisa terbuka lebar.
Selain salah alamat, potensi penyalahgunaan manfaat subsidi juga terbuka lebar. Mengingat sasaran yang dituju adalah keluarga miskin, bukan tak mungkin dana untuk pembiayaan sekolah dibelanjakan untuk membeli beras.
Ditujukan langsung ke sekolah, juga tidak memberikan jaminan keamanan. Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah menerima laporan bahwa sebuah sekolah fiktif di Jawa Barat tahun lalu mengajukan nama-nama siswa penerima dana kompensasi subsidi BBM. Jadi, jangankan obyek siswanya, lembaga sekolah saja rawan dimanipulasi.
Sejauh ini, Depdiknas masih berpegang pada mekanisme yang sudah berjalan tiga tahun terakhir, yakni dana disalurkan langsung melalui rekening siswa. Penyalurannya menggunakan jasa PT Pos Indonesia maupun perbankan.
DARIPADA berharap dari skenario kenaikan harga BBM yang sarat pro-kontra itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas mengajukan solusi pembiayaan pendidikan berupa penerapan pajak progresif, seperti di negara-negara yang menganut welfare state. Dalam hal ini, negara memungut pajak setinggi-tingginya kepada orang kaya, lalu hasil pajak dikembalikan ke warga negara dalam wujud pelayanan publik.
Sektor pendidikan tentu saja harus ikut menjadi bagian dari pelayanan publik. Anak orang kaya dan miskin bersekolah gratis dalam lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah.
Dalam sektor kesehatan, mungkin bisa diterapkan asuransi kesehatan pada rumah sakit tingkatan generik bagi semua warga negara dengan prosedur yang sederhana.
Hanya saja, gagasan itu tentu tidak mudah diwujudkan jika negara ini yang masih sarat "kongkalikong" antara aparat kantor pajak dan obyek pajak. Sama tidak mudahnya jika aparat pemerintah belum menempatkan dirinya sebagai penyelenggara layanan publik alias lebih memosisikan dirinya sebagai orang yang dilayani.
Jadi, seperti apa pun model pembiayaan layanan publik yang dirancang, terutama sektor pendidikan dan kesehatan, tetap saja rawan penyimpangan jika tidak diawali dengan keteguhan komitmen pada semua pihak yang terkait.
Selama komitmen pelayanan itu tidak dikedepankan, lama- lama sindiran di awal tulisan sudah menjadi hal biasa, bukan lagi hal yang mengundang perenungan. Sungguh ironis jika orang miskin dilarang sekolah dan dilarang sakit. Artinya, di negeri ini tak ada tempat buat orang miskin, sementara negara tidak membuka ruang yang lebar bagi warganya untuk memperbaiki harkat hidup lewat pendidikan.
Selasa, 03 Maret 2009
Pendidikan Gratis Untuk Semua : yakin bisa!!!!
Syariah Publications. Tidak ada yang memungkiri jika Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Tapi pertanyaan yang langsung menohok kita adalah kemanakah kekayaan yang kita miliki itu sehingga kualitas SDM penduduknya banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, angka putus sekolah tinggi, utang luar negeri tidak terbayang kapan bisa lunas, angka kualitas hidup rendah dan indikator-indikator yang menunjukkan rendahnya kualitas SDM yang lain.
Kita paham bahwa kualitas SDM itu merupakan pencapaian atau hasil dari sebuah proses yang kompleks, bukan inhern dengan penciptaan suatu umat/masyarakat. Proses yang kompleks itu melibatkan pengelolaan/manajemen yang baik pada berbagai bidang, yakni ekonomi, pemerintahan, politik, pendidikan, hukum, sosial kemasyarakatan dan yang lainnya. Namun pada kesempatan kali ini kita mendiskusikan aspek yang sangat penting dalam pembentukan kualitas SDM, yakni aspek/bidang pendidikan.
“Orang miskin dilarang sekolah,” demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Jeritan masyarakat yang demikian itu senantiasa terjadi dan menghantui para orang tua menjelang awal tahun ajaran baru. Para orang tua dibikin pusing ”seribu” keliling untuk memikirkan dari mana biaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Kondisi yang sangat mencolok mata dan sudah menjadi rahasia umum adalah ketika akan memasuki perguruan tinggi.
Betapa tidak, pada sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), –awalnya seperti UI, IPB, ITB, UGM, disusul UPI dan UNAIR, dan segera menyusul PTN-PTN yang lain jika tidak segera dihentikan–, pembiayaan tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).
Pendidikan memang butuh pembiayaan yang besar. Namun mahalnya biaya pendidikan saat ini karena ada sesuatu yang aneh, ganjil dan tidak masuk akal, yaitu kebijakan pendidikan negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini malah berpijak pada ideologi kafir-kapitalisme khususnya varian/jenis neoliberalisme. Ideologi ini menekankan pada perluasan pasar bebas pada berbagai bidang (termasuk pendidikan), peran negara yang terbatas dan dibatasi, dan individualisme (Adams, 2004). Padahal ideologi inilah yang diemban AS dan negara-negara kafir Barat dalam rangka melanggengkan dan semakin mengokohkan dominasinya atas negara-negara Dunia Ketiga, yang mayoritas adalah negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.
Dominasi ideologi kafir ini telah begitu menghujam dalam pola pikir dan pola tindak masyarakat kita yang kebanyakan muslim, baik rakyat maupun pemerintahnya. Wajar jika pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.
Adapun contoh dominasi ideologi kapitalisme pada masyarakat adalah paradigma pendidikan sebagai ’investasi’ dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama masyarakat sebagaimana yang sering dipromosikan di media massa. Paradigma ini keliru karena masyarakat akan berpandangan bahwa untuk memperoleh pendidikan berkualitas maka harus semakain besar pula ’modal’ yang harus dikeluarkan. Output pendidikan semacam ini lulusan-lulusan yang ’berorientasi balik modal dulu’. Pemikiran inilah yang kemudian membelenggu kepekaan sosial dan jiwa rela berkorban, serta individualis.
Sedangkan penerimaan paradigma bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama adalah semakin mengokohkan dan menjadi pembenaran bagi pemerintah menyimpang dari tugas utamanya mengurus urusan masyarakat. Lambat laun, masyarakat akan mulai meninggalkan paradigma ’pendidikan gratis’ yang sesungguhnya menjadi hak mereka. Konsekuensi logisnya, masyarakat semakin dibebani biaya hidup yang dapat berakibat semakin meningkatnya penyakit-penyakit kejiwaan di masyarakat. Lalu, apa gunanya mereka mengangkat pemerintah yang diamanahi mengurus kepentingan mereka????
Lalu, mungkinkah kita menyelenggarakan pendidikan gratis? Jawabanya dengan penuh keyakinan, MUNGKIN dan BISA!!! Pernyataan ini didukung oleh beberapa hal. Pertama, secara potensi kekayaan dan sumber daya alam kita melimpah. Untuk negeri muslim Indonesia saja, apabila mengacu pada APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.
Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :
1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).
2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).
3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)
4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)
Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.
Kedua, secara ‘itiqadi (keyakinan) penduduknya yang mayoritas muslim meyakini bahwa Allah Swt. telah mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu (mendapat pendidikan) dan melakukan amar ma’ru nahy munkar dan mewajibkan setiap pemimpin, khususnya pemerintah untuk mengurusi persoalan masyarakat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak pada Hari Akhir.
Faktor kedua ini dapat menjadi pendorong dan etos masyarakat untuk belajar dan menghargai ilmu. Begitu juga keseriusan pemerintah mengurus pendidikan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan, serta membangun infrastruktur pendidikan agar menutup celah tidak ada alasan di hadapan Allah atas pengaduan masyarakat tidak memperoleh pendidikan. Begitu juga ketika masyarakat cerdas, mengetahui hak dan kewajiban mereka terhadap pemerintah, maka masyarakat akan menjadi pengawal jalannya pemerintahan. Keduanya, masyarakat dan pemerintah bekerja melaksanakan tugas-tugasnya itu didorong oleh kekuatan rohani yang tidak ada dalam sistem kufur-kapitalisme maupun sistem yang lainnya.
Ketiga, secara historis umat umat Islam sejak Rasulullah, khulafa’ur rasyidun, dan khalifah-khalifah setelahnya telah memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan dan keilmuan yang bukti-buktinya masih dapat kita rasakan hingga kini. Faktor historis ini dapat menjadi contoh penyelenggaraan pendidikan gratis.
Keempat, pada beberapa negara Kafir Barat juga menyelenggarakan pendidikan gratis, dimana negara menanggung sepenuhnya biaya pendidikan rakyatnya. Sistem pembiayaan pendidikan di Barat ada empat jenis. Jenis pertama adalah subsidi penuh sehingga pendidikan benar-benar gratis. Contohnya di Jerman dan Austria, biaya pendidikan gratis sejak sekolah dasar hingga ke jenjang kedoktoran (PhD). Jenis kedua mirip jenis pertama, hanya biaya disediakan sampai pada jenjang pendidikan tinggi dan masanya dibatasi hingga mencapai umur tertentu atau waktu studi tertentu. Setelah itu, mahasiswa akan dikenakan bayaran jika kelulusannya tertunda. Contoh negara yang menerapkan sistem seperti ini adalah Belanda.
Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hingga jenjang Sekolah Menengah. Sedangkan untuk perguruan tinggi dikenakan iuran walaupun masih disubsidi. Jenis keempat adalah pendidikan pembiayaan sendiri. Caranya bermacam-macam; ada yang melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan), atau menjadikan pendidikan sebagai aktivitas komersial. Contoh ini banyak di Amerika, walaupun ada juga model jenis ketiga.
Jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Barat, kenapa ‘model pembiayaan gratis’ ini tidak dijadikan ikutan? Kita malah cenderung mengambil model keempat, seperti trend pembiayaan yang dilakukan PTN berstatus BHMN. Tidak aneh jika sentra-sentra perbelanjaan berdiri di atas lahan aset PTN. Ternyata terdapat sikap ‘double standard’ di sini. Bukan maksud kita untuk melakukan perbandingan model pembiayaan ini dengan Barat. Hanya saja hal ini harusnya membuatkan kita berpikir, bahwa negara yang jelas-jelas kafir saja, adakalanya jauh lebih baik menjaga kebaikan rakyatnya. Mengapa negara yang mengaku pemerintahannya islami tidak menjaga hak-hak rakyatnya???
Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup. Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya. Bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir.
Wahai kaum Muslimin! Sadarlah bahwa segala penderitaan yang dialami oleh kita adalah karena tidak diterapkannya Sistem Pemerintahan Islam di dalam kehidupan. Kita semua tahu bahwa sistem yang ada sekarang adalah sistem yang didasarkan kepada hawa nafsu, bukan berdasarkan Kitabullah dan as-Sunnah. Sistem ini yang mewujudkan para pemimpin yang melalaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mengutamakan dunia dan melupakan Akhirat. Sistem yang pada hakikatnya mengabaikan hak kita, menindas dan menzalimi kita. Kita semua adalah orang-orang yang sadar tentang semua itu.
Maka, adalah menjadi tanggung jawab kita untuk berusaha mengubah semua ini dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah melalui penegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan kita kecuali kita sendirilah yang merubahnya. [] (www.syariahpublications.com)
By: Farid Ma'ruf
Kita paham bahwa kualitas SDM itu merupakan pencapaian atau hasil dari sebuah proses yang kompleks, bukan inhern dengan penciptaan suatu umat/masyarakat. Proses yang kompleks itu melibatkan pengelolaan/manajemen yang baik pada berbagai bidang, yakni ekonomi, pemerintahan, politik, pendidikan, hukum, sosial kemasyarakatan dan yang lainnya. Namun pada kesempatan kali ini kita mendiskusikan aspek yang sangat penting dalam pembentukan kualitas SDM, yakni aspek/bidang pendidikan.
“Orang miskin dilarang sekolah,” demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Jeritan masyarakat yang demikian itu senantiasa terjadi dan menghantui para orang tua menjelang awal tahun ajaran baru. Para orang tua dibikin pusing ”seribu” keliling untuk memikirkan dari mana biaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Kondisi yang sangat mencolok mata dan sudah menjadi rahasia umum adalah ketika akan memasuki perguruan tinggi.
Betapa tidak, pada sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), –awalnya seperti UI, IPB, ITB, UGM, disusul UPI dan UNAIR, dan segera menyusul PTN-PTN yang lain jika tidak segera dihentikan–, pembiayaan tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).
Pendidikan memang butuh pembiayaan yang besar. Namun mahalnya biaya pendidikan saat ini karena ada sesuatu yang aneh, ganjil dan tidak masuk akal, yaitu kebijakan pendidikan negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini malah berpijak pada ideologi kafir-kapitalisme khususnya varian/jenis neoliberalisme. Ideologi ini menekankan pada perluasan pasar bebas pada berbagai bidang (termasuk pendidikan), peran negara yang terbatas dan dibatasi, dan individualisme (Adams, 2004). Padahal ideologi inilah yang diemban AS dan negara-negara kafir Barat dalam rangka melanggengkan dan semakin mengokohkan dominasinya atas negara-negara Dunia Ketiga, yang mayoritas adalah negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.
Dominasi ideologi kafir ini telah begitu menghujam dalam pola pikir dan pola tindak masyarakat kita yang kebanyakan muslim, baik rakyat maupun pemerintahnya. Wajar jika pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.
Adapun contoh dominasi ideologi kapitalisme pada masyarakat adalah paradigma pendidikan sebagai ’investasi’ dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama masyarakat sebagaimana yang sering dipromosikan di media massa. Paradigma ini keliru karena masyarakat akan berpandangan bahwa untuk memperoleh pendidikan berkualitas maka harus semakain besar pula ’modal’ yang harus dikeluarkan. Output pendidikan semacam ini lulusan-lulusan yang ’berorientasi balik modal dulu’. Pemikiran inilah yang kemudian membelenggu kepekaan sosial dan jiwa rela berkorban, serta individualis.
Sedangkan penerimaan paradigma bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama adalah semakin mengokohkan dan menjadi pembenaran bagi pemerintah menyimpang dari tugas utamanya mengurus urusan masyarakat. Lambat laun, masyarakat akan mulai meninggalkan paradigma ’pendidikan gratis’ yang sesungguhnya menjadi hak mereka. Konsekuensi logisnya, masyarakat semakin dibebani biaya hidup yang dapat berakibat semakin meningkatnya penyakit-penyakit kejiwaan di masyarakat. Lalu, apa gunanya mereka mengangkat pemerintah yang diamanahi mengurus kepentingan mereka????
Lalu, mungkinkah kita menyelenggarakan pendidikan gratis? Jawabanya dengan penuh keyakinan, MUNGKIN dan BISA!!! Pernyataan ini didukung oleh beberapa hal. Pertama, secara potensi kekayaan dan sumber daya alam kita melimpah. Untuk negeri muslim Indonesia saja, apabila mengacu pada APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.
Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :
1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).
2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).
3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)
4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)
Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.
Kedua, secara ‘itiqadi (keyakinan) penduduknya yang mayoritas muslim meyakini bahwa Allah Swt. telah mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu (mendapat pendidikan) dan melakukan amar ma’ru nahy munkar dan mewajibkan setiap pemimpin, khususnya pemerintah untuk mengurusi persoalan masyarakat yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak pada Hari Akhir.
Faktor kedua ini dapat menjadi pendorong dan etos masyarakat untuk belajar dan menghargai ilmu. Begitu juga keseriusan pemerintah mengurus pendidikan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan, serta membangun infrastruktur pendidikan agar menutup celah tidak ada alasan di hadapan Allah atas pengaduan masyarakat tidak memperoleh pendidikan. Begitu juga ketika masyarakat cerdas, mengetahui hak dan kewajiban mereka terhadap pemerintah, maka masyarakat akan menjadi pengawal jalannya pemerintahan. Keduanya, masyarakat dan pemerintah bekerja melaksanakan tugas-tugasnya itu didorong oleh kekuatan rohani yang tidak ada dalam sistem kufur-kapitalisme maupun sistem yang lainnya.
Ketiga, secara historis umat umat Islam sejak Rasulullah, khulafa’ur rasyidun, dan khalifah-khalifah setelahnya telah memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan dan keilmuan yang bukti-buktinya masih dapat kita rasakan hingga kini. Faktor historis ini dapat menjadi contoh penyelenggaraan pendidikan gratis.
Keempat, pada beberapa negara Kafir Barat juga menyelenggarakan pendidikan gratis, dimana negara menanggung sepenuhnya biaya pendidikan rakyatnya. Sistem pembiayaan pendidikan di Barat ada empat jenis. Jenis pertama adalah subsidi penuh sehingga pendidikan benar-benar gratis. Contohnya di Jerman dan Austria, biaya pendidikan gratis sejak sekolah dasar hingga ke jenjang kedoktoran (PhD). Jenis kedua mirip jenis pertama, hanya biaya disediakan sampai pada jenjang pendidikan tinggi dan masanya dibatasi hingga mencapai umur tertentu atau waktu studi tertentu. Setelah itu, mahasiswa akan dikenakan bayaran jika kelulusannya tertunda. Contoh negara yang menerapkan sistem seperti ini adalah Belanda.
Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hingga jenjang Sekolah Menengah. Sedangkan untuk perguruan tinggi dikenakan iuran walaupun masih disubsidi. Jenis keempat adalah pendidikan pembiayaan sendiri. Caranya bermacam-macam; ada yang melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan), atau menjadikan pendidikan sebagai aktivitas komersial. Contoh ini banyak di Amerika, walaupun ada juga model jenis ketiga.
Jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Barat, kenapa ‘model pembiayaan gratis’ ini tidak dijadikan ikutan? Kita malah cenderung mengambil model keempat, seperti trend pembiayaan yang dilakukan PTN berstatus BHMN. Tidak aneh jika sentra-sentra perbelanjaan berdiri di atas lahan aset PTN. Ternyata terdapat sikap ‘double standard’ di sini. Bukan maksud kita untuk melakukan perbandingan model pembiayaan ini dengan Barat. Hanya saja hal ini harusnya membuatkan kita berpikir, bahwa negara yang jelas-jelas kafir saja, adakalanya jauh lebih baik menjaga kebaikan rakyatnya. Mengapa negara yang mengaku pemerintahannya islami tidak menjaga hak-hak rakyatnya???
Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup. Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya. Bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir.
Wahai kaum Muslimin! Sadarlah bahwa segala penderitaan yang dialami oleh kita adalah karena tidak diterapkannya Sistem Pemerintahan Islam di dalam kehidupan. Kita semua tahu bahwa sistem yang ada sekarang adalah sistem yang didasarkan kepada hawa nafsu, bukan berdasarkan Kitabullah dan as-Sunnah. Sistem ini yang mewujudkan para pemimpin yang melalaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mengutamakan dunia dan melupakan Akhirat. Sistem yang pada hakikatnya mengabaikan hak kita, menindas dan menzalimi kita. Kita semua adalah orang-orang yang sadar tentang semua itu.
Maka, adalah menjadi tanggung jawab kita untuk berusaha mengubah semua ini dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah melalui penegakkan Daulah Khilafah Islamiyyah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan kita kecuali kita sendirilah yang merubahnya. [] (www.syariahpublications.com)
By: Farid Ma'ruf
Kontradiksi Pendidikan Tinggi
Oleh Veri Nurhansyah Tragistina
Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.
Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.
Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.
Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.
Kaum “Minority Negasive”
Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.
Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.
Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.
Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.
“Dipaksa” Menjadi Buruh
Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.
Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.
Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.
Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.
Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.
Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.
Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.
Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.
Kaum “Minority Negasive”
Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.
Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.
Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.
Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.
“Dipaksa” Menjadi Buruh
Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.
Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.
Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.
Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.
Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang
Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang Oleh : Nurkolis
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.
Pembiayaan Pendidikan Tinggi
Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.
Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.
Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?
Partisipasi
Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.
Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).
Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).
Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).
Keterbatasan dana?
Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.
Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.
Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.
Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.
Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?
Proyeksi pengembangan
Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.
Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.
Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.
Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.
Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.
Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam
(Kompas, 29 Agustus 2007)
Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.
Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?
Partisipasi
Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.
Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).
Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).
Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).
Keterbatasan dana?
Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.
Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.
Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.
Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.
Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?
Proyeksi pengembangan
Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.
Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai “lokomotif ekonomi”, belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.
Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.
Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.
Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.
Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.
Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam
(Kompas, 29 Agustus 2007)
Langganan:
Postingan (Atom)