Sabtu, 16 Mei 2009

CTL YANG CENTIL KITA SENTIL

Oleh : Deny Suwarja

Perbincangan strategi Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan topik pembicaraan hangat di kalangan pendidik. Sehangat kita menghirup kopi di pagi hari. Enak diminum, harum aromanya tapi tetap berwarna hitam, penuh misteri untuk kita selidiki. Strategi pembelajaran yang diberlakukan di kelas 1 semester gasal pada tahun ajaran 2003/2004 ini, membuat bingung, mengagetkan dan menyita perhatian para guru.

Pemerintah memberlakukan KBK dengan strategi CTL dilandasi kenyataan bahwa guru kurang memiliki kompetensi, kurang profesional, dan tidak memenuhi kriteria sebagai guru sehingga kualitas pendidikan negeri ini makin terpuruk. Dengan diberlakukannya CTL, terbersit dalam sanubari seberkas harapan untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan di tanah air pada masa yang akan datang. CTL diberlakukan setelah dianalisis secara mendalam oleh pakar terkait, baik dari Pusat Kurikulum, Pusat Pengujian, Perguruan Tinggi dan Guru Sekolah.
Sangat disayangkan, pada pemberlakukan CTL ini sepertinya pemerintah melakukan kesalahan yang sama seperti pada pemberlakuan CBSA yang lalu. Kita tengok masa lalu, Prof Dr Connie Semiawan sebagai Ketua Pusat Kurikulum, mempromosikan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) setelah proyek ujicobanya di SD-SD Cianjur berhasil dengan baik. Aspek-aspek kognitif, psikomotorik dan afektif - bahkan emotif dengan strategi CBSA- terjalin rapih. Siswa "menemukan sendiri" pengetahuannya, apa yang ingin mereka pahami. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator yang sesekali melontarkan pertanyaan yang sekaligus menggelitik mengarahkan dan menggairahkan untuk dijawab siswa.
Program CBSA pun kemudian diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Para penerbit buku pelajaran pun "panen" dengan menerbitkan berbagai macam buku menawarkan isi tentang CBSA. Guru-guru dan Kepala Sekolah pun diberi pelatihan tentang CBSA tersebut. Namun, apa yang terjadi kemudian? Keberhasilan yang kita harapkan, jauh panggang dari api. CBSA yang seharusnya Cara Belajar Siswa Aktif seringkali berubah menjadi "Cul Budak Sina Anteng", atau menjadi "Catat Buku Sampai Abis". CBSA akhirnya justru melemahkan semangat belajar siswa, mereka melihat dan merasakan Bapak dan Ibu gurunya menjadi malas mengajar dan hanya memberi catatan dan tugas-tugas.
Ketidakberhasilan CBSA patut diselidiki dan kita waspadai jangan sampai terjadi pada CTL. Penulis menganalogikan CTL sebagai gadis cantik yang centil yang harus disentil dari awal karena bila tidak, nasibnya akan sama dengan CBSA, rest in peace. Sentilan ini terdiri dari beberapa hal yaitu: faktor tidak adanya kesiapan; guru, modelling, pelibatan siswa, lemahnya kemampuan membaca dan menulis (guru dan siswa) serta tersedianya dana pendidikan yang memadai. Bila pemerintah tidak cepat melibatkan kelima faktor tersebut bukan tidak mungkin CTL juga nantinya akan senasib dengan CBSA yang kini tinggal kenangan. Seperti iklan otomotif di televisi, nyaris tak terdengar.
Pemberlakukan CTL sepertinya tidak menyentuh persoalan dasar para guru sebagai pelaksana pendidikan di lapangan, sehingga belum tentu akan mengangkat citra dan kualitas pendidikan. Para guru hanya digiring dan dicekoki pada bagaimana menyiapkan dan mengerjakan administrasi kegiatan belajar-mengajar (KBM) atau silabus yang baik dan lengkap. Guru tidak diberikan wawasan atau pengalaman untuk memahami dan mengerti apa, bagaimana dan seperti apa CTL itu harus dilakukan di dalam kelas. Akibatnya, strategi CTL yang seharusnya sudah dilaksanakan di kelas 1 awal semester ini belum juga dilaksanakan. Guru masih belum mengerti 4WH (What, Why, Where, Who, dan How)-nya CTL. Akibatnya proses pembelajaran tetap diberlakukan dengan sistem klasikal. Ceramah. Guru beraksi dan berakting di depan kelas, murid menonton dan mendengarkan.

Pemberdayaan guru sangat penting dalam upaya mencapai pembelajaran CTL yang sesungguhnya. Guru bukan disuapi dengan teks dan konsep CTL. Diknas seharusnya memberikan contoh langsung, model guru CTL itu seperti apa. Sosok yang telah mampu melakukan CTL dengan baik, benar dan sesuai dengan konsep CTL yang sesungguhnya. Saya meyakini sampai hari ini belum ada seorang guru pun yang benar-benar memahami bagaimana seharusnya guru melakukan pembelajaran dengan CTL. Visualisasi strategi pembelajaran CTL dapat disosialisasikan dalam bentuk VCD, seperti yang dicontohkan oleh Bobby de Porter dengan Quantum Learning dan Quantum Teaching- nya. Jadi filmnya tidak kaku atau dibuat-buat. Tapi alami dan wajar. Sayangnya justeru kekhawatiran tersebut telah terjadi pada VCD CTL yang dibagikan ke sekolah-sekolah beberapa waktu lalu.

Langkah lain yang dapat dilakukan adalah pelatihan semacam workshop pendalaman CTL terhadap para guru. Dengan pelatihan tersebut guru akan belajar mengenai 4WH-nya CTL dan melakukannya di dalam kelas dengan penuh tanggung jawab. Pemberdayaan guru merupakan faktor kunci keberhasilan pelaksanaan CTL. Jika guru tidak memiliki keterampilan untuk mengubah paradigma pola mengajar sekaligus tidak bisa mengelola kelas dengan baik, ilmu seluas langitpun yang ada di kepalanya tidak bisa ditransfer dengan baik kepada siswa didiknya. Pelatihan bukan dalam bentuk ceramah, tapi dalam bentuk semiloka, diskusi serta brainstorming.
Dalam pelaksanaannya, CTL seharusnya disosialisasikan dan dikontekskan agar difahami dan dialami langsung oleh para siswa. Siswa akan merasakan kesenangan, kehangatan dan kesukaan dalam pembelajaran bila guru mampu mengkontekskan CTL. Guru dan siswa bukan "lahan eksperimen" para pemegang kebijakan bidang pendidikan semata, tetapi harus menjadi subjek eksperimen itu. Seperti diutarakan di atas bahwa CTL diberlakukan setelah dianalisis secara mendalam oleh pakar terkait, baik dari Pusat Kurikulum, Pusat Pengujian, Perguruan Tinggi dan Guru Sekolah. Tapi apakah analisis tersebut telah menyentuh jiwa siswa sebagai pembelajar? Bukankah sudah saatnya kita melihat siswa sebagai subjek didik, bukan sebaliknya? Pemberlakuan dan pelaksanaan CTL selayaknya juga melibatkan kesiapan dan kesigapan siswa sebagai pembelajar yang sesungguhnya. Sehingga bila CTL dilaksanakan oleh gurunya, siswa tidak kaget dan terjebak kembali kepada paradigma; gurunya malas karena hanya memberikan tugas dan catatan.
Faktor keempat kemungkinan kegagalan strategi CTL dalam sistem pendidikan kita adalah lemahnya kemampuan membaca dan menulis (guru dan siswa). Padahal abad 21 adalah era informasi yang membutuhkan keterampilan membaca dan menulis yang mumpuni. Manusia yang tidak mempunyai kemauan, kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis akan jauh tertinggal, terseok-seok tertinggal zaman. Para guru dan siswa di negeri ini semestinya meniru Jepang, negeri yang luluh lantak pasca tragedi Hiroshima dan Nagasaki. Negeri matahari terbit ini dapat bangkit dan menjadi negara yang sangat maju karena kegilaan membaca rakyatnya yang sangat mengagumkan. Di stasiun kereta api, di taman, bahkan di dalam kereta yang penuh sesak, dalam keadaan berdiri orang Jepang asyik membaca buku.
P. David Pearson dari Michigan State University (2003) menyatakan , "Reading comprehension is thought of as the product of decoding and listening comprehension (RC = Dec * LC), and the major task of instruction is to ensure that students master the code so that comprehension can proceed more or less by listening to what you read". Keterampilan membaca adalah pemikiran sebagai produk memecahkan kode dan mendengarkan pengertian ( RC= Dec* LC), dan tujuan instruksi utamanya adalah untuk memastikan bahwa para siswa menguasai kode sedemikian sehingga pengertian dapat berproses kurang lebih dengan mendengarkan apa yang kamu baca. Guru dan siswa harus melatih skill mereka dalam "mendengarkan" dan mengikat isi buku. Atau dengan bahasa yang lain guru dan siswa harus layak membaca buku dan menuliskan sesuatu, harus mempunyai kemampuan mengikat makna (Hernowo, Kaifa, 2001).
Sayangnya kelayakan untuk dapat mengikat makna dengan cara membaca dan menuliskan sesuatu tersebut harus dibayar mahal. Banyak sekali dari rakyat di negeri ini yang tergila-gila membaca buku, harus terbentur pada harga buku yang selangit. Mahal. Sedikit sekali orang yang mampu membeli buku yang bermutu karena tidak terjangkau isi saku. Pengadaan buku paket selayaknya dibarengi dengan pengadaan buku-buku populer dan buku "How to" yang membahas kemajuan dan perkembangan pendidikan. Sehingga kalaupun tidak terbeli, guru dan siswa dapat bersama-sama membaca di perpustakaan sekolah.
Kendala tercapainya peningkatan kualitas pendidikan dengan CTL ini pada akhirnya bermuara pada ketersediaan dana pendidikan yang memadai. Rencana pemerintah mengucurkan dana senilai Rp.20.000.000,00 (?) belum juga terealisasi. Padahal CTL telah berjalan lebih kurang tiga bulan. Masih untung bila guru yang "mencoba" melakukan strategi CTL itu melakukan swadaya dan memberdayakan dana dari siswa. Itu mungkin masih ditolerir bila pembiayaan untuk pembelajaran sedikit. Tapi bagaimana bila membutuhkan dana yang besar?
Kalaupun dana itu jadi turun, dana tersebut harus sesuai dengan peruntukannya. Dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin murni untuk pelaksanaan CTL. Kepala Sekolah harus mampu mengawasi dan melakukan kontrol dengan tegas. Karena bila tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi akal-akalan dari guru yang nakal. Meminta dana CTL dengan melakukan mark-up terlebih dahulu demi keuntungan pribadi. Agar pengontrolan berjalan transparan, buatlah papan laporan keuangan CTL. Tempelkan di tempat yang dapat dilihat dan dimonitor oleh seluruh komponen sekolah atau masyarakat luas. Saya yakin, hal ini bukan sesuatu yang berat bila kita melakukan pekerjaan dengan menjujung tinggi kejujuran.
Sebaik apapun kurikulum pendidikan, bila kelima faktor tersebut tidak berhasil dipecahkan oleh diknas, jangan harap CTL dapat mencapai tujuannya. Mutu pendidikan tidak akan berubah, jika faktor; kesiapan guru, modelling, pelibatan para penggiat pembelajaran (siswa), lemahnya kemampuan membaca dan menulis (guru dan siswa) serta tidak tersedianya dana pendidikan yang memadai tidak dapat dimunculkan, maka pendidikan bermutu tinggi hanyalah bintang di awang-awang. Kerlap-kerlip membinarkan harapan, enak dipandang tapi tak bisa disentuh. Pendidikan hanya akan berupa sandiwara antara guru dan siswa didik semata.

http://re-searchengines.com/dsuwarja5.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar