Minggu, 17 Mei 2009

Harry Potter, Tony Blair, dan Revolusi Bacaan

Oleh : Lidus Yardi S.Pd.I

ADA dua berita dari Inggris yang kini hangat diperbincangkan dan menjadi sorotan dunia. Berita pertama mengenai buku kelima dunia sihir, Harry Potter, karya Joanne Kathleen (JK) Rowling. Berita kedua mengenai sebuah dokumen, yang berisikan tentang bukti-bukti bahwa Irak memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal. Dokumen itu sebelumnya dijadikan sebagai alasan oleh Perdana Menteri Tony Blair (Inggris) untuk membantu AS menyerang Irak, pada Kamis, 20 Maret 2003. Kedua berita ini pada dasarnya sama-sama berita tentang sebuah kebohongan.

Buku Harry Potter adalah buku fiksi yang menceritakan tentang kehidupan dunia sihir. Suatu cerita tentang kehidupan dunia yang tidak nyata, alias cerita bohong. Di mana film dan bukunya berguna sebagai tontonan dan bahan bacaan yang menghibur. Kemudian mengenai dokumen yang dijadikan oleh Tony Blair (baca: Inggris) sebagai alasan mengapa Irak harus diserang, ternyata juga bohong. Karena dokumen yang berisikan tentang bukti-bukti Irak mengembangkan senjata pemusnah massal itu merupakan jiplakan dari tesis seorang mahasiswa pascasarjana, Ibrahim al-Marashi, yang kini menjadi peneliti di pusat Pengkajian Nonproliferasi (CNS) Institut Pengkajian Internasional, Monterey, AS. Bahkan bukan itu saja. Menurut Glen Ranggawala, analis kasus Irak Universitas Cambrigde, dokumen yang dipergunakan Inggris itu juga merupakan gabungan dari tiga artikel hasil curian. Artikel pertama adalah artikel Marashi sendiri, yang menggunakan data tahun 1991.

Artikel kedua dan ketiga, adalah artikel pengamat keamanan, Sean Boyne, di tahun 1997 dan Ken Gause, di tahun 2002. (Kompas, 29/6/2003) Jadi, dokumen yang pada mulanya dianggap penting itu bukanlah hasil penyelidikan badan intelijen sebagaimana dikatakan Perdana Menteri Tony Blair sebelumnya, melainkan jiplakan atas sebuah tesis mahasiswa pascasarjana dan beberapa artikel para pengamat keamanan. Kenyataan yang memalukan ini telah membuat negara Inggris dan AS diminta pertanggungjawabapannya oleh dunia internasional. Hingga saat ini, kedua negara tersebut belum mampu membuktikan bahwa Irak mengembangkan senjata pemusnah massal, yang sebelumnya menjadi justifikasi untuk menyerang Irak.

Persoalan ini tidak bisa dianggap remeh. Karena akibat invasi AS yang mendapat dukungan penuh dari Inggris itu, telah menelan korban yang tidak sedikit di Irak. Sejarah akan mencatat, bahwa AS dan Inggris adalah negara yang tidak dapat dipercaya, pembohong dan pembunuh. Dengan alasan menegakkan demokrasi di Irak negara tersebut telah menginjak-injak nilai demokrasi itu sendiri. Inilah kebohongan terbesar di zaman ini. Tony Blair dalam hal ini adalah, Harry Potter dengan kisah lain yang biadab.

Kebohongan tentang cerita buku Harry Potter dan kebohongan Tony Blair tentang sebuah dokumen itu saat ini, adalah berita hangat dan menarik yang patut "dibaca" dan diperbincangkan. Dan tulisan ini, akan lebih difokuskan kepada "heboh" buku Harry Potter dan hikmah apa saja yang harus kita petik darinya.

Harry Potter dan Revolusi Bacaan
Pada hari Sabtu, 21 Juni 2003, di Inggris dan di Amerika, secara bersamaan diluncurkanlah buku kelima serial Harry Potter karya J.K Rowling dengan judul Harry Potter and the Order of the Phoenix. Buku ini ternyata sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya. Ketika tersebar berita akan diluncurkan pada hari Sabtu, sore Jum'at-nya para remaja di kota London telah antrian di depan toko buku yang akan menjualnya. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana diberitakan oleh media massa, panjang antrian di depan toko buku sampai mencapai 5 ribuan orang. Tidak disangka, buku kelima serial Harry Potter ini kembali mendulang sukses dan "menyihir" dunia. Ia terjual laris manis melebihi kacang goreng. Dalam satu hari saja, buku itu telah terjual sekitar 5 juta kopi. Dan, tidak dapat dibayangkan berapa angka penjualan selanjutnya, jika buku itu telah tersebar ke berbagai negara dan diterjemahkan pula.

Di Indonesia, empat buku Harry Potter sebelumnya telah diterjemahkan dan sebagiannya telah mengalami beberapa kali cetakan. Yang menjadi hak tunggal penerbitan edisi Indonesia adalah Penerbit Gramedia. Buku pertama Harry Potter edisi Indonesia berjudul Harry Potter & Batu Bertuah (2000). Buku kedua, Harry Potter & Kamar Rahasia (2001). Buku ketiga, Harry Potter & Tawanan Azkaban (2002). Buku keempat, Harry Potter & Piala Api (2002). Dan buku kelima yang menghebohkan itu, kemungkinan besar akan terbit pada awal 2004. Menurut J.K Rowling, serial buku Harry Potter ini direncanakan sebanyak 7 sampai 9 seri.

Ternyata Harry Potter tidak saja sukses dalam bentuk buku, sebelumnya, film Harry Potter (I & II) juga banyak ditonton oleh anak-anak hingga orang dewasa di seluruh dunia. Kesuksesan Harry Potter kemungkinan besar disebabkan oleh suguhannya yang cocok "dikonsumsi" oleh semua golongan usia. Dan, kesuksesan Harry Potter bagi penulisnya, J.K Rowling, adalah perubahan besar dalam kehidupannya. Dari kehidupan yang mulanya miskin, kini J.K Rowling menjadi orang terkaya di Inggris, melebihi kekayaan ratu Elizabet II.

Adakah hikmah atau pelajaran yang dapat kita petik ketika mengikuti berita "heboh" peluncuran buku kelima Harry Potter? Bagi saya, ada satu hal yang membuat saya berpikir, kagum, dan cemburu. Berpikir bukan karena saya ingin mendalami dunia sihir. Kagum bukan karena saya membaca buku Harry Potter itu. (Terus terang, dari keempat buku Harry Potter edisi Indonesia, satu kata pun dari buku itu belum saya baca. Tapi kedua filmnya sudah saya tonton). Lalu, mengapa saya harus cemburu? Saya harus cemburu karena tingkat bacaan yang tinggi dari anak-anak Inggris dan Amerika.

Bayangkan, buku kelima Harry Potter yang menurut informasi www.detik.com memiliki tebal 896 halaman, dan dijual dengan harga Rp. 225.000, saat ini menjadi bahan bacaan berjuta anak-anak di Inggris dan Amerika. Fenomena ini menurut koran Kompas (29/6), telah membongkar tesis tentang buku anak-anak selama ini, yaitu harus tipis dan cerah atau banyak gambar. Buku Harry Potter tidak saja tebal, tapi juga mengenai cerita kegelapan dunia sihir. Namun demikian, ia mampu mengantarkan kepada dunia pencerahan dan "revolusi bacaan" di zaman ini, dan mengembalikan anak-anak dari layar televisi dan komputer kepada buku. Pantaslah anak-anak di negara maju pendidikannya tinggi dan cerdas-cerdas, karena tingkat bacaan dan ingin tahu mereka cukup tinggi. Budaya membaca inilah yang belum ada pada diri anak-anak Indonesia. Inilah salah satu penyebab mengapa negara kita masih terbelakang dari beberapa aspek. Bagaimanapun, membaca adalah gerbang pengetahuan dan kearifan.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), dalam Surat Pembaca koran Riau Pos (26/6), menurut laporan Bank Dunia No. 16369-IND, dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievermen) di Asia Timur, tingkat terendah membaca anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko (Kompas, 2/7/2003), disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.

Persoalan Membaca
Persoalan membaca yang selalu mengemuka, terutama dikalangan pelajar kita, adalah bagaimana cara menimbulkan minat baca dan cara membaca yang baik. Belajar dari fenomen Harry Potter, jawaban untuk menimbulkan minat baca dan bagaimana cara membaca yang baik terletak pada tingkat ingin tahu yang tinggi. Untuk meningkatkan ingin tahu, maka harus dihadapkan kepada persoalan yang membuat penasaran dan segera ingin mengetahuinya. Buku kelima Harry Potter dibaca berjuta anak-anak diseluruh dunia saat ini, bukan karena buku itu bagus dan menarik. Karena penilaian bagus atau menarik akan diketahui setelah membacanya. Saya yakin, buku itu dibaca karena tingkat penasaran dan keingintahuan anak-anak tentang cerita selanjutnya Harry Potter. Rasa ingin tahu kelanjutan kisah Harry Potter, akan "memaksa" untuk membaca buku selanjutnya. Dari sikap ingin tahu itu timbullah sikap konsentrasi membaca dan tingkat fokus bacaan yang baik. Dengan demikian, terjawablah persoalan bagaimana menimbulkan minat baca dan bagaimana cara membaca yang baik itu.

Mengapa ketika membaca buku-buku ilmiah rasa bosan cepat datang dan tidak demikian halnya ketika kita membaca buku cerita? Karena membaca buku cerita tingkat ingin tahu dan rasa penasaran akan semua isi cerita buku itu lebih tinggi ketimbang membaca buku ilmiah. Inilah yang membuat kita mampu bertahan menahan kantuk ketimbang membaca buku pelajaran. Namun, minat dan objek bacaan tentu saja akan selalu berubah dengan perkembangan usia. Pada orang dewasa tingkat ingin tahu yang timbul juga semakin tinggi, maka bahan bacaannya juga akan tinggi sesuai dengan minatnya. Namun persoalan yang urgensi di sini adalah, bagaimana tingkat ingin tahu melalui bahan bacaan pada diri anak-anak bisa dan tetap terpupuk. Sehingga ketika dewasa ia terbiasa dengan membaca.

Perubahan Mental
Menurut pandangan saya, buku-buku petualang, cerita dongeng, atau buku semacam kisah nyata para Nabi dan Rasul, bisa membangkitkan imajinasi dan keingintahuan pada diri anak-anak. Di sinilah, bimbingan dan cara penyajian kisah yang baik sekaligus cerdik dari orang tua dan para penulis sangat menentukan. Tugas orang tua adalah bagaimana membuat lingkungan rumah penuh dengan bahan bacaan. Di samping itu, pemerintah bertugas bagaimana bisa menyediakan buku bacaan yang murah. Dengan timbulnya minat baca yang tinggi dan di dorong dengan tersedianya bahan bacaan yang bagus dan murah, adalah gerbang pengetahuan yang dapat mengantarkan kepada kehidupan masyarakat yang mencerahkan. Individu masyarakat yang mencerahkan adalah individu pembelajar, atau meminjam istilah Andrian Harefa, inilah yang dikatakannya sebagai "manusia pembelajar". Manusia pembelajar dalam mencari pengetahuan dan makna hidup, bukan lagi menggantungkan diri kepada lembaga atau institusi pendidikan. Tetapi lebih dari itu, kehidupan yang dilalui dan realitas kehidupan yang dihadapinya merupakan pengalaman yang mengajarkan serta mampu mendewasakannya. Inilah yang dikatakan oleh para ahli pendidikan sekarang dengan belajar di "sekolah kehidupan".

Jadi, membaca merupakan suatu hal yang sangat urgensi dalam memajukan setiap pribadi manusia. Karena hakikat membaca adalah perubahan mental. Jika tidak ada perubahan, baik cara pandang, sikap, atau perilaku, maka seseorang belumlah dapat dikatakan membaca. Dan, "dengan membaca kita mengetahui dunia dan dengan menulis kita mempengaruhinya". Saat ini, ujung pena J.K Rowling dengan karya Harry Potter-nya, telah membuktikan bahwa menulis dapat mempengaruhi dunia.

http://re-searchengines.com/lyardi2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar